Sabtu, 19 Juni 2010

Telaga Al-Kautsar: Festival Bulan Purnama Majapahit

Telaga Al-Kautsar: Festival Bulan Purnama Majapahit

Festival Bulan Purnama Majapahit

Melihat Wajah Festival Bulan Purnama Majapahit*

Oleh : Jabbar Abdullah**

Selepas maghrib, arus lalu lintas di sepanjang jalan raya Jatipasar, Kec. Trowulan tampak sibuk dan sesekali macet oleh banyaknya pengendara dan pejalan kaki yang menyeberang. Bukan kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kemacetan atau pengaspalan jalan, namun ada peristiwa kesenian yang mengundang perhatian besar masyarakat di sekitar kampung Wringin Lawang (Jatipasar). Peristiwa kesenian itu bernama Festival Bulan Purnama Majapahit yang terjadi hanya sebulan sekali dan selalu bertepatan dengan terjadinya bulan purnama atau oleh orang Jawa disebut padhang mbulan yang dalam kalender Jawa jatuh pada tanggal 15.

Kegiatan bulanan yang diagendakan oleh Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM) ini sebelumnya telah diawali dan digelar pada tanggal 29 April 2010 di Gapura Wringin Lawang dengan menu pentas tari yang memang bertepatan dengan hari tari sedunia dengan Biro Tari DKKM sebagai pelaksana programnya. Nah, pada Festival Bulan Purnama Majapahit jilid dua yang digelar pada tanggal 29 Mei 2010 lalu juga bertepatan dengan HUT Ludruk Karya Budaya Mojokerto ke 41.

Menu yang disuguhkan sungguh menarik. H. Drs. Eko Edy Susanto, M. Si, yang akrab dipanggil Cak Edy Karya, putera Cak Bantu Karya, yang saat ini menjadi nahkoda ludruk Karya Budaya sekaligus Ketua Umum Dewan Kesenian Kab. Mojokerto ternyata jauh-jauh hari telah menyiapkan kado khusus. Kado itu berisi pentas ludruk kolaborasi antara beberapa pengurus DKKM, ludruk remaja dengan ludruk Karya Budaya (LKB) yang terbungkus dalam Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010. Dengan kata lain, Dewan Kesenian Kab. Mojokerto pada tanggal 29 Mei 2010 yang lalu turut merayakan dan memberi penghargaan atas “kelahiran kembali” ludruk Karya Budaya.

Lantas apa yang ada di balik kado “pentas kolaborasi” tersebut? Secara kasat mata, pentas kolaborasi itu biasa dan dapat terjadi di mana saja. Namun kalau kita perhatikan dengan seksama, kita akan menemukan sisi lain di luar yang “biasa” itu. Apakah itu? Sesuatu itu dinamakan “andarbeni” atau rasa memiliki. Secara tidak langsung, beberapa pengurus DKKM dan beberapa remaja yang terlibat dalam pentas kolaborasi itu telah diajak Cak Edy Karya untuk turut merasakan beratnya perjuangan ludruk Karya Budaya dalam mengemban misi mempertahankan martabat seni-tradisi (baca: ludruk) hingga mencapai usia 41 tahun. Atau dengan kata lain, main ludruk itu tidak semudah yang dibayangkan dan tidak semua mampu melakukannya. Dan pada saat yang bersamaan, Cak Edy Karya juga hendak menunjukkan bahwa tidak ada kasta dalam ludruk. Untuk sementara, inilah yang mampu penulis “baca” dari pentas kolaborasi yang diusung ludruk Karya Budaya.

Malam itu, gapura Wringin Lawang mendapat sorotan lampu halogen sehingga tampaklah kegagahannya sebagai pintu gerbang masuk menuju kerajaan Majapahit. Dan untuk pertama kalinya, gapura Wringin Lawang menjadi obyek wisata budaya malam hari. Silih berganti orang-orang yang menghadiri festival mejeng untuk sekedar foto bersama sekaligus menikmati pameran foto Ludruk Karya Budaya yang digelar oleh Panorama Photography dari Malang.

Suasana mistis juga terasa berhamburan tatkala terjadi bulan purnama dengan posisi bulan tepat di tengah-tengah gapura Wringin Lawang. Beberapa menit kemudian, bulan beranjak naik sehingga dalam radius 100 meter dari Gapura Wringin Lawang bulan tampak tepat berada di ujung gapura. Fenomena ini tidak disia-siakan oleh para pengabadi peristiwa. Dengan kameranya masing-masing, mereka berburu momen bulan purnama yang memang langka terjadi di area gapura Wringin Lawang yang oleh penduduk sekitar diyakini, bahwa jika terjadi bulan purnama utuh, maka artinya “leluhur” memberikan restunya.

Beberapa damar sewu yang mengelilingi area pentas ludruk juga memberi warna tersendiri, paling tidak mewakili suasana kemajapahitan. Malam itu memang terasa istimewa, selain telah terjadi peleburan antara spirit tradisi (lokalitas) dengan modernitas juga dengan hadirnya Bapak RB. Sentanu dari Katahati Institute Jakarta yang sebelum pentas ludruk dimulai menyempatkan diri untuk naik panggung dan memberikan orasi budaya. Hadir pula rombongan perwakilan dari Pura Dalem Majapahit Klungkung, Bali. Tamu undangan lainnya yang hadir diantaranya; Cak Hengky Kusuma (pegiat ludruk, Surabaya), Cak Karsono (Bengkel Muda Surabaya), Cak Ngaidi Wibowo (pegiat ludruk, Jombang), Fahrudin Nasrulloh dan M. S Nugroho (Dewan Kesenian Jombang).

Ada satu pelajaran berharga yang diberikan Cak Edy Karya selaku ketua umum Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto ketika mengawali dan memberikan prakata dalam ajang festival bulanan ini. Yakni, pembacaan laporan pembiayaan Festival Bulan Purnama Majapahit yang dibacakan ala takmir masjid yang membacakannya sebelum khutbah Jum’at dimulai. Sekali lagi, ini bukanlah perkara aneh-aneh atau sekadar transparansi belaka. Namun ada nilai luhur di dalamnya yang hendak ditanamkan oleh Cak Edy Karya, yaitu amanah. Dengan pembacaan secara terbuka (nama donatur dan nominal) di depan jama’ah yang – meminjam istilahnya WS. Rendra – hadir dan mengalir di festival, berarti seluruh dana yang diterima (diamanahkan) telah digunakan dengan sebaik-baiknya untuk keperluan festival, bukan untuk yang lain-lain. Hal semacam ini menjadi penting selain sebagai bentuk tanggung jawab, juga merupakan wujud kesadaran akan mahalnya sebuah kepercayaan. Seterusnya, semoga hal ini dapat menjadi percontohan.

Jika hal-hal sederhana namun sarat makna di atas mampu dipertahankan, maka insya Allah wajah Festival Bulan Purnama Majapahit dengan segala keterbatasannya akan menjadi utuh dan sempurna, sesempurna bulan purnama yang sesungguhnya. Akhirnya, penulis mengucapkan: Dirgahayu 41 Tahun Ludruk Karya Budaya Mojokerto. Semoga tetap jaya. Amiin.

———-
* DIMUAT RADAR MOJOKERTO (JAWA POS GROUP), SERAMBI BUDAYA, MINGGU 06 JUNI 2010
** Jabbar Abdullah (Lurah Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto yang menggemari Ludruk Karya Budaya Mojokerto).

Selasa, 01 Juni 2010

ESAI SERAMBI BUDAYA

Tulisan Terbuka Untuk Bupati Suyanto Soal Seni-Budaya Jombang

Fahrudin Nasrulloh*


Dalam beberapa obrolan dan jagongan tentang seni-budaya Jombang, ada seorang pegiat seni yang dengan antusias tapi terkesan chauvinistik menyebut bahwa banyak ikon Jombang yang perlu dilestarikan keberadaannya. Misalnya ia menyebut sosok Besut, pengremo legendaris Mbah Bolet, warisan Topeng Jatiduwur, Watu Gilang di Ploso, situs Sendang Made, tradisi warga Sandur Mandura, dan lain-lain. Sejumlah pejabat pemerintah juga kerap mengkopi-ucap data inventaris kesenian itu kala memberi sambutan pada acara-acara resmi tertentu. Nimbrung nanya, seberapa akurat dan seperti apa jenis deretan kesenian itu telah ditelusuri dan selanjutnya diketahui sebagai sebuah pengetahuan yang menjadi kesadaran milik bersama warga Jombang? Boleh jadi saya keliru mengudar rasa bahwa topik macam demikian semata hanya bahan kelakaran sambil-lalu atau gosip di jedah istirahat makan siang di sebuah acara resmi pejabat atau seniman yang merasa ngurusi kesenian, misalnya.

Ambil contoh lanskap lain, katakanlah ludruk sebagai sebentuk kesenian yang muncul di Jombang, apa yang sudah dilakukan pemerhati ludruk Jombang untuk mengembangkannya? Haruskah kita berkali-kali mendaku tanpa gagasan riset baru bahwa ludruk adalah anak sejarah yang lahir di tlatah Jombang sejak 1907 dengan munculnya lerokan Pak Santik, Pak Amir, dan Pak Pono? Apakah Paguyuban Ludruk Arek Jombang (Palambang) yang konon dimunculkan dari rahim gagasan Bupati Suyanto telah benar-benar memberi kontribusi positif dan kondusif bagi mekarnya ludruk Jombang, ataukah malah sebaliknya? Jika Palambang yang lahir pada 2007 telah nyata-nyata memberikan sumbangsih bagi seluruh seniman ludruk dan warga Jombang, lagi-lagi saya bertanya, apa implementasi riil baik yang bersifat fisik maupun yang visioner?

Kita bisa mencatat peristiwa yang agak tragis dan miris bagi Palambang yang bertampil ludruk dengan lakon “Kebo Nyusu Gudel” saat pengukuhan Dewan Kesenian Jombang pada 25 Februari 2010 di mana salah satu pemeran perempuan, Darwati namanya, diganti begitu saja oleh “pihak dalam” Palambang dengan pemain lain. Padahal Darwati sudah didapuk pada gladi resik sebelumnya. Dan tanpa pemberitahuan, ia digajul begitu saja. Darwati pulang dengan sesak sesal dan tersepelekan harga dirinya. Ada yang bilang dan sempat terdengar, “Ngurus pentas ludruk saja nggak becus. Bagaimana pula memikirkan masa depannya?” Yang aneh dan lebih menggelikan lagi, pengukuhan itu sampai menghadirkan artis Ayu Azhari dengan pesangon 15 juta hanya untuk berjoget dengan lagu “Terajana”. Sungguh mewah acara resmi ini. Sementara kita lupa ada Wak Bari si seniman ludruk gaek asal Kabuh yang lama digelut stroke yang tak lagi bisa kita mendengar riwayat ludruk Jombang darinya sebagai data sejarah ludruk. Apa hubungan yang masuk akal si artis ini dengan pengukuhan DeKaJo? Yang saya tahu ia cuma teman baru nan akrab Bupati Suyanto saat keduanya jadi bintang tamu di Empat Mata-nya Tukul Arwana. Tak lebih dari itu. Dimensi kesadaran ruang sosial telah hilang di sana. Dunia intertainment, gosip, selebritisme, dicampur-baur dengan ruang apresiasi lembaga kesenian yang baru saja dibentuk itu yang sebenarnya harus disadari bersama.

Di tempat lain, dan lantaran peristiwa itu, sejumlah seniman ludruk yang tidak terlibat dalam pementasan Palambang malam itu merasa tersinggung dengan amat sangat atas perlakuan yang tidak etis terhadap Darwati itu sehingga mereka melayangkan surat protes dengan tembusan langsung kepada yang terhormat Bupati Suyanto. Ketidakberesan ini menguarkan citra buruk bahkan telah menyebar ke seabrek telinga di luar Jombang.

Tapi benarkah demikian kasus yang menimpa Darwati? Bila memang begitu ceritanya, jangan salah sangka jika ada kesan bahwa ludruk Jombang itu bermasalah dan oleh sebab itu imbasnya banyak pula grup ludruk Jombang kurang diminati masyarakat. Complicated problems. Kadang saya lebih suka diperhadapkan pada berbagai masalah pelik agar jiwa tercambuk dan tangguh karenanya, dengan catatan, segera selesaikan masalah yang bejibun itu. Tidak dibiarkan, nanti bisa membusuki diri sendiri. Belum lagi soal ludruk tobongan asal Jombang yang nyaris punah. Sebut saja Ludruk Mamik Jaya yang kini ketlarak di tegalan sawah pedalaman Madiun, sebelumnya mereka ngamen di daerah Tulungagung, Trenggalek, Ngawi, dan Magetan. Sudah 12 tahun mereka nobong. Banyak cap yang terlekat dalam grup ludruk ini di rantau, misalnya: “panorama kenelangsaan”, “drama kemelaratan”, “yang bersetia penuh nguri-nguri ludruk”, “berjaya hidup-mati di tobongan”, “kemalasan kreativitas”, “kaum seniman martir yang terbuang”, “sasaran empuk politisasi kesenian”, dan bla-bla-bla. Mustinya sejak dulu Bupati Suyanto memikirkan apa solusi terbaik atas kondisi mereka. Atau memang demikiankah garis nasib seni tradisi: ia kelak bakal lenyap sendiri, menguap dideru perubahan zaman, seperti takdir Ludruk Mandala yang tutup tobong tahun 2008, yang pimpinannya tak lain adalah Dayat dari Peterongan.

Baiklah, itu satu contoh kasus yang boleh bagi siapapun untuk mengklarifikasi dan urun rembug. Soal lain, tentang ikon yang, untuk sementara, dianggap milik Jombang, yakni Mbah Bolet. Ia memang tidak disangkal lagi bahkan di seantero Jawa Timur akan dedikasi dan kehebatannya dalam olah-karya tari remo. “Remo Boletan” adalah sebutan yang prestisius. Tokoh ini sampai melahirkan dan menginspirasi generasi seniman remo lain semisal Ali Markasa, Mujiono, Pak Gendut dari Kediri, dan Bu Sur dari Mojowarno. Sekedar nanya, siapakah yang mengenal lekat Mbah Bolet dan menangi masa hidupnya? Ini pertanyaan konyol pula, dan dapat dibalik-tanya: kalau memang ada lantas kenapa dan mau apa?

Hanya beberapa orang mungkin yang masih hidup saat ini yang kenal dan paham betul dan punya pengalaman yang mendalam dengannya. Pernah saya tanya pada sesepuh seniman atau pemerhati ludruk Jombang, apakah anda punya foto Mbah Bolet? Ini pertanyaan sepele, tapi tak gampang dijawab dengan data konkrit, sebab banyak pejabat atau seniman Jombang yang ingin mengabadikan sosok ini dalam bentuk lukisan, cinderamata, monumen patung, dan lain-lain dengan bayangan bahwa dari tokoh ini bisa dijadikan industri kreatif yang menjanjikan untuk penabalan sekaligus penguatan identitas dan potensi Jombang. Ataukah jika saja anda pernah menemukan sebuah tulisan atau riset kecil-kecilan yang cukup bisa dijadikan sumber awal untuk lebih mengenal sosoknya? Dari beberapa pertanyaan enteng itu, jawaban sementara yang saya pungut hanyalah seraut wajah: BENGONG.

Padahal, Pak Ali Markasa, pernah cerita pada saya, bahwa ia mengenal Mbah Bolet sejak tahun 1966. Ia tak tahu kapan Mbah Bolet lahir. Sumber cerita lain menyebut nama asli Mbah Mbolet adalah Sastro Bolet Amenan. Kiranya ada bau ningrat dari nama itu. Ia meninggal pada Selasa Pon, 17 Agustus 1987, di Jombang. Nama dia silakan saja dijadikan ikon seniman besar Jombang. Tapi sejauh mana kita mengenalnya dengan baik? Untuk mengenalnya pasti membutuhkan sejarah hidupnya, bukan? Jadi setali tiga uang, jika pembaca ada yang memiliki data tertulis atau apapun yang berkaitan dengan sosok ini, anda bisa membagi informasi tersebut kepada Bupati Suyanto yang telah menabalkan dirinya sebagai pengayom (dan pelestari?) ludruk dan seniman ludruk Jombang. Atau jika anda sungkan menginjakkan kaki di rumput indah kabupatenan, anda bisa berbagi cerita pada Komite Seni Tradisonal di Dewan Kesenian Jombang yang ketuanya kini adalah Pak Eko Wahyudi.

Soal terkait lain, tentang warisan Topeng Jatiduwur. Saya kira, menurut data rekaman saya dari cerita Pak Supriyo di Jatiduwur, seniman pengampu tradisi topeng di sana sudah susah diajak maju. Cara berpikir mereka yang menilai pihak pemerintah yang mengurusi kesenian hanya mengambil untungnya saja dan mereka merasa bahwa diri mereka dan keseniannya hanya diperhatikan saat dibutuhkan, seperti sewaktu ada undangan tampil di propinsi atau di TVRI dengan bajet sekian lalu mereka dapat jatah sekian. Ironisnya, mereka merasa dikibuli dengan dapat honorarium yang tak sebegitu yang seharusnya menurut sangkaan mereka harusnya dapat sebegini dan bla-bal-bla. Kini, mereka sudah susah diajak kerja sama lagi dengan pemerintah yang mengurusi kesenian itu. Peristiwa tersebut seolah menjelma “batu” di kepala masing-masing orang yang pernah terlibat langsung di dalamnya dan lama-kelamaan pasti mengeras jadi fosil rapuh yang gampang dikibas angin lalu. Apalagi bahwa Mbah Nasrim sebagai penari Topeng Jatiduwur yang sangat piawai telah lama meninggal. Dan anak turunnya tak ada yang mewarisi keahlian tersebut. Kalau pun ada, tak bisa diandalkan. Maka, apa yang tersisa dari warisan Topeng Jatiduwur? Mungkin masih ada jejak yang bisa terus digali dari sana. Tapi siapa yang mau bergerak intensif untuk itu?

Dari kondisi beberapa jenis kesenian dan sosok seniman yang karut-marut dan kabur demikian, masihkah ada yang ngimpi bahwa Jombang punya ikon kesenian yang dapat dibanggakan dan jadi maskot di tingkat nasional? Jika Bupati Suyanto, atau pemerhati kesenian Jombang, atau DeKaJo (Dewan Kesenian Jombang) menilai persoalan-persoalan ini tidak penting bagi identitas Jombang di kemudian waktu. Jangan semudah ngimpi dengan berkata: “Jombang kelak akan menjadi mercusuar kebudayaan Nusantara.” Guyonan saya, kalimat gagah bin keren ini sebagai “kata benda”, “kata kerja”, atau “impian kosong”?

Atau, jika suatu saat ada kunjungan kenegaraan dari Istana Kepresidenan, lalu ada yang bertanya karena tertarik pada tokoh-tokoh nasional yang lahir dari Jombang, kapankah Hari Jadi Kelahiran Kabupaten Jombang? Adakah semacam buku tentang “Sejarah Kabupaten Jombang”? Bupati Suyanto tentu berharap tidak ada pertanyaan yang seperti itu. Tapi, jika pertanyaan semacam itu muncul dari Pusat suatu saat, boleh saja Bupati Suyanto mengalihkan obrolan ke topik lain. Ini soal yang sebenarnya sederhana, namun sesungguhnya mendasar. Ya, soal identitas wilayah pemerintahan dan kesejarahannya. Memang upaya penelurusan Hari Jadi Jombang sudah pernah dilakukan pada 2007. Namun hingga kini tak terdengar kabarnya lagi.

Sekedar contoh, Kabupaten Nganjuk telah memiliki buku sejarah asal-usul Kabupatennya. Si penulisnya, Harimintadji dan timnya, bertahun-tahun menelusuri sejarah berdirinya Nganjuk, sampai pada 1994 terbitlah buku Nganjuk dan Sejarahnya. Dengan munculnya buku tersebut tidak sepenuhnya diterima warga Nganjuk. Perdebatan dalam sejumlah seminar dan bedah buku tersebut terus berkembang. Sebuah dilektika yang menarik sebenarnya, di mana warga, tokoh masyarakat, budayawan, merasa terlibat di dalamnya, hingga tahun 2004 Harimintadji secara khusus membuat buku dari dinamika itu dengan judul Kontroversi Sekitar Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Dan dalam bentuk pementasan drama kolosal sejarah Nganjuk ia menganggit naskah Pelangi di Anjuk Ladang (2005). Yang perlu diacungi salut dari dinamika kota ini adalah bahwa empat masa periode bupati Nganjuk dari yang sekarang dan sebelumnya sungguh mendukung penuh dan mendanai tim penulis yang dipimpin oleh Harimintadji yang mana dia bukanlah sejarawan kesohor. Ia hanya si tua pensiunan dari Dinas Tata Pemerintahan Pusat, tapi mau bergerak dan berkeringat. Untuk penulisan sejarah Jombang, kayaknya jika mau serius, Bupati Suyanto bisa saja “ngedok dengan SK Bupati” bahwa penelusuran sejarah Jombang perlu ditindaklanjuti dan diprioritaskan sebagai agenda mendesak. Dengan catatan beliau tepat dan benar menunjuk tim riset dan konsultan ahli dari beberapa sejarawan yang kredibel dan berintegritas tinggi. Ini akan menjadi catatan penting sebagai salahsatu tinggalan Bupati Suyanto yang paling berharga sampai akhir jabatannya pada 2013.

Pastinya, masih banyak persoalan seni-budaya yang berkerumuk di lorong terdalam kesejarahan Jombang. Kepada Bupati Suyanto, para seniman dan budayawan, pemerhati kesenian, guru-guru, pelajar, semua pihak yang bersepaham dengan soal ini, serta warga Jombang yang budiman, bahwa dalam paparan tulisan ini, boleh dibantah diuji dan ditanggapi. Paling tidak, dari dialektika ini ada yang bisa kita ambil manfaatnya di kemudian hari.

Jombang, 25 Maret 2010

----
*Fahrudin Nasrulloh, pegiat Komunitas Lembah Pring

SUMBER : SERAMBI BUDAYA KORAN HARIAN RADAR MOJOKERTO,28 MARET 2010.

MAKALAH "GELADAK SASTRA"

:: Menulis! :: *

Oleh : Bandung Mawardi**

Menulis bukan urusan ingin! Menulis itu menulis. Hukuman berat untuk orang-orang dengan “hantu-hantu ingin” adalah kebingungan, kelinglungan, kesakitan, dan kedukaan. Takdir penulis tidak sekadar merawat ingin dengan nafsu atau lesu. Tuturan tentang orang ingin menulis menjelma benih-benih kematian menjelang kehidupan. Kabar sorga aksara dan neraka aksara mungkin tak melewati jalan mereka. Makna tak mau mampir karena tak ada ruang tamu untuk perjamuan.

Menulis bukan urusan menata kata! Menulis itu kerja. Orang memerlukan untuk menempuhi jalan menulis dengan segala milik diri. Kemanjaan dan minimalitas diri justru membuat petaka. Menulis adalah keterlibatan mencekam dan melegakan dari proses keringat kata, geliat imajinasi, sekarat tubuh, dan lenguh iman. Kerja menulis mirip ibadah dalam keterlenaan ruang dan waktu.

Menulis bukan urusan tampil diri sebagai bacaan! Menulis itu membaca. Modal membaca tak bisa ditangguhkan atau diabaikan sebagai sekadar instrumen. Membaca mesti jadi jelmaan iman karena memberi terang. Urusan membaca adalah urusan melibatkan diri untuk merasai hadir dalam jagat kata dan resah memamah pernik-pernik makna dari segala penjuru. Membaca tidak membuat orang menguburkan diri tapi menyelamatkan jalan pembebasan dari jerat kedunguan dan dosa-dosa picisan.

Menulis bukan urusan menanti! Menulis itu tindakan melawan kutukan malas dan lupa. Intensitas mengurusi kata bakal membukakan lorong-lorong gelap untuk minta terang. Perjalanan tak mesti menggairahkan karena setan-setan menari dengan berahi kesesatan. Menulis menjadi urusan mencari dan menemukan. Menulis tidak mirip penantian kekasih dalam ketelanjangan diri. Menanti bisa menumbuhkan benih-benih kepasrahan dan siksa tanpa pengharapan. Anutan atas pilihan menanti tentu kisah sakit penulis. Rumah sakit susah menyembuhkan dan kuburan lekas membuka diri dalam senandung keputusasaan.


:: Tulisan? ::

Oleh : Bandung Mawardi


Tulisan memiliki jalan untuk menghuni lembaran koran, jurnal, buletin, majalah, atau buku. Jalan ini ramai karena orang-orang merasa memiliki hak untuk sampai. Tanda-tanda jalan tak bisa memastikan tulisan tersesat, tabrakan, mati kehausan, atau tertidur di selokan. Jalan besar itu sesak oleh doa, pengharapan, cacian, keluhan, dan protes. Tulisan bisa bergelimang dosa oleh kutukan-kutukan atau pengabaian. Tulisan pun menuai berkah saat pikat merasuki manusia-manusia pilihan dalam memberi putusan dilematis.

Penulis mungkin hidup dengan ambisi menghadirkan tulisan di koran, jurnal, buletin, majalah, atau buku melalui keajaiban. Ambisi ini bakal lengah dalam menolak kabar kematian. Ambisi bisa disemaikan dengan optimisme melalui kepekaan atas nasib tulisan untuk menempuh jalan menyapa pembaca. Kepekaan ada saat intimitas diri dengan tulisan dan media mencapai ruang dialog. Tulisan hadir karena transaksi dari sekian argumentasi internal dan eksternal. Transaksi itu alot. Model ini menjadi sasaran dari curiga dan luberan doa dari penulis.

Menulis dan mekanisme menemukan jalan ke media itu urusan sepele. Klaim sepele ini tidak merendahkan tapi memartabatkan diri penulis dalam gairah dan gerah. Kesepelean justru membuat orang kerap terlena dan mengentengkan ketimbang memikirkan dengan iman. Kesepelean memerlukan iman. Rumus mujarab untuk menulis dan menempuhi jalan media adalah iman. Iman ini mencakup kompleksitas otoritas dan kesadaran pelbagai instrumen dalam optimisme melahirkan tulisan dan merawat sebagai berkah untuk dunia.

---------------------

* Makalah ini disampaikan dalam Geladak Sastra #3 pada tanggal 16 Mei 2010 pukul 19.00 Wib

** Bandung Mawardi, Esais Kabut Institut Solo.

PENGANTAR “Geladak Sastra”

“Geladak Sastra”, Kekaryaan, dan Sinergi Komunitas

OLEH: Fahrudin Nasrulloh*

Dunia kepenulisan dan geliat berbagai komunitas apapun bentuk dan aktivitasnya di setiap kota maupun desa, jika kita pernah menyusuri wilayah-wilayah itu dan mencermatinya, sedikit demi sedikit ternyata menyibak jendela pengalaman bahwa di sana bertumbuh dan bergerak beragam gairah dan potensi mulai dalam bentuk kegiatan kawula muda kampung, kemahasiswaan, ataupun komunitas tertentu yang hal ini sungguh menunjukkan suatu perkembangan interaksi sosial yang positif. Di sisi lain jaringan di dunia maya, facebook misalnya, makin menjebak dan membusuki diri tiap individu, kecuali tentu saja ada nilai positif darinya untuk meluaskan informasi dan jaringan antar institusi, pebisnis, jasa wira usaha, ataupun komunitas.

Pengaruh “ledakan media”, sebagaimana yang disebut Afrizal Malna, salah satunya adalah percepatan, pergesekan, dan perubahan yang tidak bisa ditebak ujungnya, namun dampaknya terasa dalam ritus keseharian walau tanpa tersadari alangkah kita begitu susah untuk berjeda barang sebentar berefleksi diri atas apa yang terjadi, sementara di sisi lain kita telah melarut mengarus dalam derap guncangan teknologi tersebut.

Salah satu pengaruh besarnya, entah terasa atau sudah menjadi biasa, adalah betapa mahal dan susahnya apa yang kita sebut “silaturahmi” dan “pertemuan”. Dalam konteks bersastra, ruang lingkup sosialnya, dan pegiat atau pesastra di dalamnya, kini tampaknya cukup menempa kekaryaan dalam kamar sunyinya masing-masing, selain orientasi kepengarangan yang bebas nilai yang makin jarang ditemukan pengarang yang benar-benar berkarya dan menggali inspirasi dari problematik sosial dan oleh sebab itu menuntutnya untuk terjun riset ke masyarakat. Penulis yang tercandui dunia internet, menyimpan pengaruh tak terkira, dan cenderung menghasilkan karya dari kesunyian dirinya sendiri. Tapi semua itu sah dan boleh-boleh saja, sebab berkarya adalah memilih jalan kebebasan yang tidak terikat bahkan atas nama suatu ideologi.
Dari cara pandang sekilas di atas, dan merujuk akan pentingnya sebuah pertemuan, dialog, bertukar tangkap gagasan dan saling menyodorkan karya untuk diobrolkan dengan santai sambil mencicip kopi-teh atau air putih saja dan hidangan ala kadarnya, maka Komunitas Lembah Pring dari Kampung Mojokuripan Sumobito Jombang menggelindingkan agenda kecil berupa “Geladak Sastra” guna mewadahi dan menjadikannya ruang sosial di mana para penulis, pemerhati kesenian, komunitas-komunitas, warga kampung, dapat terlibat bersama-sama secara guyub dengan kesederhanaan dan kesahajaan.

Dari hasil penelusuran dan jalan-jalan, pegiat Komunitas Lembah Pring, yang dilurahi oleh Jabbar Abdullah, untuk sementara dapat mengumpulkan sejumlah data tentang penulis dan komunitas yang bergeliat namun selama ini belum terkabarkan dan untuk itulah kiranya jadi berharga sebagai referensi merekatkan jaringan dalam berbagai kegiatan yang bisa diagendakan secara rutin dan berkesinambungan.

Seperti contoh ada penulis bernama Sarah Mariska, gadis belia dari Desa Jogoloyo, Kecamatan Sumobito ini sudah lama menyimpan sejumlah karya. Sebut saja: Devil’s Park (novel), Oak (novel), What I Feel (kumpulan cerpen), Setan versus Malaikat (naskah drama), Aku Anak Desa (kumpulan esai). Agus M. Herlambang dari UNIPDU Jombang yang bergiat di Buletin Change telah memiliki kumpulan cerpen berjudul Sepuluh Kepala Babi, dan sekumpulan esai Kita dan Mbah Dukun. Mubarok dari UNDAR Jombang dengan kumpulan esai Menatap Masa Depan Indonesia. Eka Kristino dari UNIPDU Jombang dengan kumpulan puisi Awan yang Kesepian. Ada juga M.F. Bary Luay dari UNIPDU Jombang telah menghimpun sekumpulan puisi berjudul Seruan Izrail dan kumpulan cerpen Kematian si Abah. Bambang Irawan dari Komunitas Alif Mojoagung, selain sebagai aktor teater, ia juga sebagai penulis lakon drama, misalnya Malingku Maling, Wewe Gombel, Jamu Mbah Gandul, Ambar Hambar, dan sekumpulan esai berumbul Film Indie Kita. Pada komunitas yang sama, ada pula Purwanto yang menyimpan kumpulan puisi berjudul Sepenggal Kisah. Komunitas dari Mojoagung ini memiliki potensi dan semangat ingin maju yang luar biasa.

Sabrank Suparno dari Kampung Dowong, yang pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh tani, pengasak gabah, pencitak batu-bata, dan tukang brujul sawah, namun di balik itu selain aktivitas rutin perbulannya di Jamaah Padang Mbulan Cak Nun, ia juga telah melahirkan sejumlah karya yang memenangi Sayembara Menulis dalam rangka Workshop Kepenulisan Jamaah Maiyah pada Desember 2009 dengan judul Rembulan Cincin Kawin Dunia (buku ilmiah populer) dan Negeri Rasul Seluas Sajadah (buku populer religius sastrawi). Sekarang ia mulai menyiapkan sekumpulan cerkak dengan bendera Bobok Suruh Bodeh.

Masih di belahan Sumobito, tepatnya di Kampung Rejosari, tersebutlah Endah Wahyuningsih, seorang mahasiswi anyaran tahun 2009 di kampus STKIP PGRI Jombang. Ia termasuk gadis muda yang produktif menulis sejak di bangku kelas 2 SMP. Sejumlah cerpen dan novel remaja sudah ditulisnya di usia belasan itu. Hingga kini, meski sepengakuannya ia termasuk gadis ndeso dan kuper jika dibandingkan teman-temannya, namun memang semangat nulisnya sejak dini tersebut masih banyak yang perlu kita ketahui dan gali nilai spirit darinya. Kebanyakan karya-karyanya masih dalam bentuk tulisan tangan, belum diketik baik dengan mesin ketik manual maupun dengan fasilitas komputer. Beberapa karyanya yang sempat terekam misalnya: Tangisan Bidadari (rampai puisi, 200 halaman), Jiwa-jiwa Merpati yang Lara (himpunan Cerpen), Oh Mama Oh Papa (novel), Misteri Giok Merah (novel), Dua Belas Lilin Untuk Cinta (novel), Peri Biru (novel), dan Satu Cinta Dua Kasih Sayang (novel). Ada pula Siti Sa’adah, dari kampus yang sama, asal Gebang Malang, Diwek, selain sebagai guru dan beraktivitas di Tim Pelestari Seni-Budaya Jombang, ia adalah penulis cerpen yang potensial di masa mendatang dengan karakter cerpen yang digali dari pengalaman kampung dan problematik santri di pesantren.

Tampaknya geliat mahasiswa STKIP PGRI Jombang yang di tahun ajaran 2010 ini mengantongi jumlah sekitar 4800 mahasiswa. Kegiatan teater dan bersastra cukup bergeriap di sini. Banyak pementasan teater yang digelar, juga musikalisasi puisi. Di awal 2010 misalnya, Rahmat Sularso dan Syamsul Huda, berkreasi dengan membuat antologi Cecerak Jombang (cerita rakyat) dan kumpulan puisi Jagad Berkata-kata. Tradisi pendokumentasian ini patut diacungi jempol. Sebab, pasti, tidak semua mahasiswa mau berkarya, dan lewat tugas mata kuliah Proses Kreatif, mereka diharuskan untuk menulis. Macam Tugas demikian tidak lepas dari spirit yang digerakkan oleh dosen prodi bahasa Indonesia, Imam Ghazali AR dan Nanda Sukmana.
Pada wilayah yang tak jauh, M.S. Nugroho, seorang guru SMP 3 Peterongan, adalah pegiat teater pelajar di masa mudanya, dan kini tetap aktif menyutradarai berbagai pementasan teater pelajar, terutama di sekolah di mana dia mengajar. Beberapa rampai cerpen anak (8 cerpen) dan cerpen dewasa atau umum (13 cerpen) telah ia siapkan untuk diterbitkan. Ada 8 karya cerita tentang semacam Dongeng Politik dengan jenis cerita populer dan jenaka. 13 naskah drama tersimpan di laci kerja kreatifnya: Malin-End the Scene, Wewe Gombel, Surya Terbenam Pagi, Bulan Tersaput Awan, Yuyu Kangkang, Nyanyian Marduk Pada Bulan, Kusir Delman dan Wakuncar, Audensi Keluarga, Surup, Raja Toba, Setan, Y di Puncak Kematian, Ekstase dalam Secangkir Revolusi, dan Perjuangan Milik Bersama. Angka ini termasuk jarang dimiliki pegiat teater lain di Jombang. Meski kita belum tahu, berapa sutradara teater di Jombang yang getol membikin naskah sendiri, bukan melulu menggarap naskah sutradara kesohor lain di negeri ini misalnya pada naskah Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Heru Kesawa Murti, dan lain-lain. Sebuah novel sedang disempurnakannya dengan judul New Secret Painter. Sementara itu, 3 skenario film karangannya siap digodok bersama sejumlah sejawat yang tergabung dalam tim film indie. 3 skenario itu adalah: Ilmu Kalong, Bulan Tertusuk Ilalang, dan Tujuh Hari Meniti Kematian. Cucuk Espe atau Cucuk Suparno dari Peterongan, barangkali juga memiliki sejumlah naskah drama tersendiri, yang salah satunya adalah naskah 13 Pagi yang pernah dipertunjukkan di auditorium UNDAR pada 14 Desember 2009.

Sedang di belantara sastra pesantren, yang baru tercatat, ada Khilma Anis dari Pondok Pesantren Tambak Beras, selain dia, tampaknya cukup banyak jebolan dari pesantren ini yang tersebar di beberapa kampus di Jawa yang lumayan aktif dan produktif berkarya, namun belum terlacak keberadaannya. Kemudian Hilmi As’ad, ia adalah seorang kiai muda yang kalem namun energik dan produktif dari Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso yang mulai populer dengan terbitan novelnya: Tasawuf Cinta (Diva Press: Jogja, 2008)), Hakikat Cinta (Diva Press: Jogja, 2009), dan Putri Sio (Koekoesan: Jakarta, 2010). Para pengarang muda pesantren baik yang bermukim Jombang maupun di luar, telah menjadi penulis berbakat. Setidaknya mereka mewarisi kegigihan dan ketokohan sosok-sosok semisal Emha Ainun Nadjib, Abidah El-Khalieqy, Ahmad Munif, Yusron Aminullah, Shoim Anwar, dan lain-lain.

Membincang keberadaan komunitas di Jombang, pernah Komunitas Lembah Pring bergabung serta dalam kegiatan “Bengkel Menulis I” yang diadakan oleh Komunitas Fikrah Institut pada 27 Februari 2010 di pendopo Perkembunan Daerah Panglungan (PDP), Wonosalam. Komunitas yang memfokuskan pada dunia kepenulisan kreatif dan diskusi sastra ini dibentuk pada akhir 2009 oleh perkumpulan kawula muda PMII Jombang seperti Wahib Pamungkas dan Anwar Masduki Azzam. Setiap minggu mereka menggelar diskusi sastra, pemikiran keislaman, dan ke-NU-an. Memang teramat padat jika tiap minggu berdiskusi. Justru militansi mereka yang patut dicatat. Komunitas lain yang bertebaran sebenarnya banyak juga, seperti Forum Tetesan Pena dari UKM Jurnalistik UNIPDU yang dipimpin oleh M. Ali Fatkhurrozi, Formasis (Forum Mahasiswa Ibnu Siena) dari Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso yang dipandu Mubaruk, CLMBK (Create Letter Mahasiswa Bimbingan Konseling) dari UNDAR pimpinan Kharis Sofyan, dan lain-lain, yang secara pribadi mengembangkan kreativitas personalnya dalam menulis seperti Nur Aini (pengelola Buletin Penalaran dari STKIP Jombang); Budi Syarifuddin dan Rohmatul Hidayah dari UNIPDU; Zaenal Fuadin dan Liestya Ambarwati Kohar dari Komunitas Alif Mojoagung; Laily Syarifah, penulis sekaligus guru di SMP 3 Peterongan; Siti Sulami, penulis asal Ngoro yang sudah melahirkan novel Fatihah Cinta, dan kini sedang menggarap sebuah novel baru lagi dan kumpulan cerpen.

Paparan di atas menunjukkan betapa potensi kreatif penulis di Jombang tidak bisa dipandang sebelah mata. Tujuan digelarnya agenda rutin “Geladak Sastra” adalah sebagai wadah, tempat berkumpul, ajang pertemuan yang sederhana dan tidak mewah, membuka gagasan apapun dan dari siapapun, dan tidak hanya terbatas pada penulis dan komunitas dari Jombang saja, tetapi membuka diri bagi yang lain di luar kota untuk terlibat, urun pemikiran, serta mengelilingkan “Geladak Sastra” tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan yang disepakati bersama. Ada tiga pokok agenda “Geladak Sastra”: pertama, bedah karya. Bedah karya ini bersifat fleksibel, tidak harus karya yang sudah diterbitkan oleh penerbit atau lembaga tertentu. Karya yang misalnya berupa puisi, cerpen, esai, naskah drama, atau catatan-catatan perjalanan, atau apapun, dapat diajukan ke lurah Komunitas Lembah Pring, dan akan dipertimbangkan untuk diagendakan. Semisal untuk puisi, cukup 5 sampai 10 puisi, dalam bentuk fotokopian. Untuk cerpen 3 judul. Untuk naskah drama dan novel 1 judul. Kedua, berbentuk diskusi atau jagongan ringan dengan tema sastra, seni, dan budaya. Di sini akan dihadirkan pembicara baik dari Jombang maupun dari luar kota. Ketiga, dalam format dialog lepas atau talk show atau orasi budaya yang dirancang misalnya menghadirkan seniman tradisonal ataupun yang kontemporer atau dalam bentuk refleksi publik yang nyantai dari sastrawan maupun budayawan. Bisa juga dalam bentuk pementasan musikalisasi puisi atau monolog dengan batas waktu tertentu. Tiga agenda ini akan diselang-seling sesuai kebutuhan dan bersifat kondisional.

Gelaran “Geladak Sastra” Komunitas Lembah Pring sebagaimana ilustrasi di atas, dengan segala keterbatasannya, akan diupayakan mampu berjalan sesuai dengan rancangan agendanya. Agenda perdana berupa bedah karya dan diskusi kumpulan cerpen Siti Sa’adah Pensi Dor pada Minggu siang, 28 Maret 2010, di markas Komunitas Lembah Pring, di Kampung Mojokuripan. Tentu waktulah yang akan menguji seberapa tangguh kegiatan ini dapat berderap. “Asal jangan tai-tai ayam,” demikian seloroh seorang teman mengapresiasi. Paling tidak, kita akan melihat, hingga beberapa bulan ke depan sampai akhir 2010. Selamat berkarya, dan terus bergerak!

----
*Fahrudin Nasrulloh, pekerja kata di Komunitas Lembah Pring Jombang

Sabtu, 09 Januari 2010

Esai Serambi Budaya


Teater dan Pesantren


Fahrudin Nasrulloh*


Apakah itu teater? Untuk apa manusia membutuhkan teater? Kenapa orang-orang berpeluh tenaga dan keringat bermain teater? Apa ada kebajikan yang dibuahkan dari menggeluti teater? Barangkali demikianlah orang pesantren yang awam atau yang merasa punya riwayat dengan pesantren yang kurang mengenal teater akan bertanya-tanya semacam itu. Jawabannya sederhana: di pesantren nyaris tidak dikenalkan bahkan dikembangkan seni teater yang bagi mereka tidak lebih sebagai produk budaya Eropa-Barat yang hingga kini telah menjadi bagian dari seni pertunjukan moderen di Indonesia dan mendapatkan apresiasi yang luas di seluruh belahan dunia.

Berteater adalah menghirup keseharian, memaknai keberadaan diri atas nama kenyataan, dengan secermat mungkin, dengan yang biasa-biasa saja, merasakan aliran darah mengalir di urat-urat nadi. Menghayati tubuh yang bergerak, pikiran yang berkembara, orang-orang yang berpusaran dalam rutinitas keseharian dengan berbagai macam persoalannya. Dengan kesadaran apakah diri manusia telah kehilangan sesuatu yang paling hakiki atas eksistensinya. Tapi kenapa menjadi penting bahwa keberadaan diri harus dicari di dalam teater, bukan di luar teater? Apakah jika manusia merasa kehilangan diri, hingga sedemikian perlunya berikhtiar untuk menemukan diri? Di situlah teater sebagai sebuah seni menghadir. Seni berpikir, seni bergerak, seni menyikapi kesementaraan hidup, seni: apakah kita mencintai hidup atau membencinya, seni bagaimana Tuhan menciptakan semesta hingga manusia berpikir dengan cara yang bagaimanakah Tuhan menciptakan itu semua.

Teater sebagai seni mengandung nilai, pertama sebagai kekuatan efek dalam setiap adegan yang mengundang penafsiran yang berpijak atas pengalaman-pengalaman manusia. Kedua, menggelarkan pengalaman batin, tentang pikiran tokoh, kepribadian dan sesuatu dorongan kenapa seseorang bertindak dan menentukan keputusan. Ketiga, teater sebagai seni yang kompleks yang melibatkan sejumlah aktor, penulis naskah, sutradara, asisten sutradara, penata pentas atau busana atau cahaya, koreografer, dan pengolah musik. Dari kompleksitas itulah teater menemukan kekuatannya dalam sebuah kerja sama yang solid dan bertanggungjawab demi suatu penciptaan pelakonan yang tunggal.

Pengalaman manusia, dalam konteks lelaku teater, berusaha merekam pola-ragam pengalaman-pengalaman itu yang di dalamnya berbagai persoalan dapat diungkai, dieksplorasi, dan mengurai sebab-akibat suatu peristiwa. Perspektif sejarah, filsafat, dan disiplin keilmuan lain sangatlah menunjang bagi sejauh mana sebuah pementasan teater disajikan. Walau yang dipentaskan oleh teater adalah art experience (pengalaman seni) bukan life experience (pengalaman hidup), karena itu hakikat teater sebagai bentuk seni menghadirkan yang fiksi dan imajinasi.

Maka hal yang serasa samar-samar menggelayut dalam pola berpikir yang filsafati misalnya akan menemukan fungsinya pada semisal sebuah pemanggungan teater Dinasti dari Jogja yang pada 23 Agustus 2008 menyajikan lakon Tikungan Iblis di Taman Budaya Yogyakarta, dengan sutradara Emha Ainun Nadjib. Pengalaman yang demikian bisa ditemukan dalam adegan demi adegan di mana manusia berhadapan dengan manusia yang berpikir kritis seperti iblis.

Kenapa dengan iblis? Dalam Tikungan Iblis itu diilustrasikan kerusakan di bumi juga disebabkan oleh manusia, bukan iblis yang selama ini dijadikan kambing hitam atas segala keterkutukannya. Apa kira-kira yang perlu didengar dari iblis? Apa manusia telah menyerupai perilaku iblis? Tidak sekedar pesan, tapi ada pemikiran yang mengalir di sana, dalam pementasan itu, yang sesaat, lalu penonton pulang, dengan atau tanpa membawa sesuatu apa. Di dalam peristiwa itulah teater berfungsi sebagai ajang “pertemuan” dalam ruang sosial yang disebut panggung, dengan corak pikiran dan apresiasi penonton yang bermacam-macam.

Kini kita bertanya, bagaimana orang-orang pesantren memahami seni, dalam hal ini teater? Seperti apakah pemahaman mereka? Apakah orang-orang pesantren mempunyai pemikiran tentang kesenian atau kebudayaan? Ya, kita akan teringat sebutan LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) di tahun 60-an di mana tokoh sastra dan film seperti Asrul Sani dan Usmar Ismail menyokong berdirinya lembaga ini di bawah panji-panji kebesaran NU. Namun kini LESBUMI tidak kedengaran lagi. Namun wacana ini tidak menjadi fokus di sini.

Sastra dan “Teater Pesantren”

Teater dan pementasannya adalah menghadirkan suatu peristiwa. Peristiwa yang bisa disuling dari hal yang nyata maupun yang fiksi. Pementasan teater bisa berdasarkan pada naskah drama, novel, cerpen, suatu peristiwa yang dianggap penting, maupun dari sepotong puisi. Dari naskah drama banyak sekali contohnya, semisal dari naskah-naskah Arifin C. Noer, Putu Wijaya, W.S. Rendra, Heru Kesawamurti, dan lain-lain. Dari novel semisal pementasan Ladang Perminus yang digarap oleh grup MainTeater Bandung yang disutradarai oleh Wawan Sofwan yang penggarapannya didasarkan pada novel Ladang Perminus karya Ramadhan KH.

Mari kita cuplikkan satu contoh pemanggungan teater yang berdasarkan suatu peristiwa berikut ini:

Nuremberg, Jerman, Mei, tahun 1928, di suatu sore. Seorang lelaki dengan langkah terhuyung-huyung, jatuh dan bangun lagi. Seperti seorang bayi ia merangkak tanpa bisa berkomunikasi. Tak ada yang tahu asal lelaki ini. Satu-satunya petunjuk adalah secarik surat yang dibawanya. Surat tersebut menjelaskan lelaki itu sejak lahir disekap dalam dalam kotak di gudang bawah tanah dan tak pernah melihat matahari terbit.

Berita kemunculan lelaki itu segera membuat geger. Warga Nuremberg menganggap lelaki itu sebagai makhluk liar lalu menggotongnya ke penjara kota. Segeralah diketahui bahwa lelaki itu tidak bisa menggunakan jari-jemarinya, dan tidak bisa membedakan antara laki-laki dengan perempuan. Ketika disodori kertas dan pensil, ia agak gugup, kemudian dengan susah payah ia menuliskan namanya: “Kaspar Hauser”.

Dokter mengira apa yang dituliskan itu baru dilatihkan oleh seseorang. Dari hasil pemeriksaan disimpulkan bahwa lelaki itu tidak pernah melihat matahari, tidak pernah melihat orang lain, kecuali orang yang memberinya makan.

Kaspar kemudian disosialisasikan. Ia dijadikan obyek kunjungan dokter, ahli hukum, dan aparat pemerintah dari seluruh Eropa. Teka-teki tentang dirinya belum banyak terpecahkan, dan pada 1933 secara tragis Kaspar ditikam oleh seseorang yang tak dikenal. Penduduk Nuremberg menulis epitafnya: Di sini dikuburkan seorang misterius yang terbunuh secara misterius. (D&R, 1998: 34-35)

Nukilan peristiwa tersebut kemudian oleh novelis Peter Handke dari Austria digarap dalam bentuk sebuah pentas teater berjudul Kaspar. Namun ia garap dengan perspektif lain meski masih menguat karakter si Kasparnya. Peter menyajikan bagaimana kerja para teknokrat, birokrat dan ilmuan dalam membuat keberadaban manusia yang belum dianggap beradab. Naskah eksperimental ini dipanggungkan pada 1967 dan 1968 di Jerman. Kemudian di Indonesia, naskah Kaspar pernah dipentaskan Teater Payung Hitam Bandung pada 1994-2003.

Bagaimanakah dengan naskah-naskah yang bermuatan dengan nilai-nilai keislaman atau kepesantrenan? Naskah Iblis karya Muhammad Diponegoro bisa dijadikan contoh. Atau Tikungan Iblis di atas. Atau yang berdasarkan puisi-puisi Emha Ainun Nadjib yang selanjutnya menghasilkan pementasan Lautan Jilbab. Ataupun cerpennya “Ambang”, dalam kumpulan cerpen Yang Terhormat Nama Saya (Sipress, Yogyakarta: 1992), yang menyoal hubungan eksistensial antara si hamba dan Tuhan. Terkait dengan tematik “iblis”, inspirasi bisa saja muncul untuk menjadikannya sebagai naskah teater. Sebagaimana peristiwa Kaspar Hauser, psikologi sufi yang akrab dengan dunia pesantren bisa saja menjadi pertarungan wacana yang memikat untuk dipentaskan. Seperti cuplikan peristiwa atas sosok sufi Al-Junayd ini dalam pertarungan batiniahnya dengan iblis:

Telah diceritakan bahwa Junayd berkata, “Pada suatu ketika aku sangat ingin bertemu dengan Iblis. Pada suatu hari, aku sedang berdiri di pintu mesjid tatkala seorang tua berjalan ke arahku dari kejauhan. Ketika aku bisa memandangnya dengan jelas, rasa takut tiba-tiba mencekam diriku. Saat dia datang mendekatiku, aku berkata, ‘Siapa engkau wahai orangtua? Mataku tak dapat melihatmu dengan jelas karena rasa tercekam, dan hatiku pun tak dapat memikirkan engkau.’ Dia menjawab, ‘Aku adalah sesuatu yang kau inginkan.’ Aku menyahut, “Wahai Iblis, makhluk terkutuk, apa yang menjadikan engkau bersujud kepada Adam?’ Dia menjawab, ‘Wahai Junayd, apa yang memberimu gagasan bahwa aku akan bersujud kepada yang lain selain pada Allah?’ Junayd merasa terpesona dengan kata-katanya. Lalu muncullah bisikan yang mengiang di telinganya agar menimpali si Iblis dengan kalimat: Engkau berdusta! Jika engkau benar-benar seorang hamba, engkau tentu tak akan pernah melangkahi perintah dan larangan Allah. Iblis mendengar bisikan itu dari hati Junayd lalu sontak berteriak, ‘Engkau telah membuatku terbakar, karena Allah!’ Dan Iblis pun menghilang.”

Pegiat teater yang baik adalah juga pembaca yang baik, lebih-lebih dalam pengayaan membaca buku-buku sastra. Sejumlah cerpen Danarto merefleksikan dunia Islam-kejawen yang mistis, magis, sublim, absurd, dan multi-tafsir telah mengantarkan sosoknya sebagai “penulis sufi” dalam khazanah sastra Indonesia yang cukup diperhitungkan. Banyak hal yang dapat dijadikan inspirasi pengeksplorasian lewat cerpen-cerpen Danarto semisal dalam kumpulan cerpennya Adam Ma’rifat (Balai Pustaka, Jakarta: 1992), Godlob, ataupun Berhala (Pustaka Firdaus, Jakarta: 1996). Pemikiran wahdatul wujud tercermin dalam karya-karyanya. Meski demikian, atmosfir cerita-ceritanya, menurut Umar Kayam, masih tetap dalam rangka bagaimana manusia yang bertuhan memahami sekaligus memuliakan misteri keesaan Sang Pencipta.

Cerpen A.A. Navis Robohnya Surau Kami pernah disebut Gus Dur sebagai representasi sastra kepesantrenan yang menggelontorkan pertarungan batin si kakek dengan tokoh Ajo Sidi tentang hakikat ibadah, sorga, pengabdian tampa pamrih, dan pilihan tokoh si kakek yang putus asa lalu bunuh diri, dan kondisi surau yang perlahan-lahan mau roboh sebab tiada yang merawat setelah peristiwa matinya si kakek.

K.H. Mustofa Bisri dengan cerpen-cerpennya menyorongkan inspirasi yang menarik sebagai bahan pementasan. Kita bisa mencermatinya dalam kumpulan cerpen nya Lukisan Kaligrafi (Kompas, Jakarta: 2003). Cerpen “Gus Jakfar”, “Mubaligh Kondang”, “Ngelmu Sigar Raga” atau “Amplop-amplop Abu-abu” misalnya benar-benar menyuguhkan ilustrasi bagaimana potret riil dan ruang lingkup interaksi sosial di pesantren terhadir begitu mendalam yang tercermin pada tokoh-tokohnya, peristiwanya, suasana yang dibangun Gus Mus. “Gus Jakfar” pertama kali dimuat Kompas pada 23 Juni 2002 yang sontak mendapatkan apresiasi yang luas dari banyak sastrawan, terutama bagi kiai-kiai sejawat Gus Mus. Sejak itu, sastra pesantren mendulang harapan dari pelbagai pihak. Meski kini ia sudah lama absen menulis cerpen.

Novel Khotbah di Atas Bukit (Bentang, Jakarta: 2008) karya Kuntowijoyo menggulirkan sosok Barman tua bersama Popi istrinya yang menyingkir dan mengembara dari keramaian kota menuju sebuah bukit yang sepi untuk menemukan kedamaian hidup. Meski dalam rangka berlibur, mereka banyak menemukan dunia spiritual yang unik. Dan Kuntowijoyo mengisahkannya dengan penuh kelembutan penuh makna, dramatik dalam imajinasi, tanpa berkoar-koar mendesakkan pesan yang artifisial.

Beragam khasanah sastra di atas sekedar gambaran kecil di mana pegiat teater bisa menimba inspirasi untuk pementasan. Tentu masih banyak hal yang dapat digali dari dunia pesantren. Tidak hanya untuk berteater, dunia film juga telah mengangkat sisi-sisi dilematis di wilayah pesantren. Sebut saja film Perempuan Berkalung Sorban yang digarap Hanung Bramantyo dari novel dan dengan judul yang sama karya Abidah El-Khalieqy. Film 3 Doa 3 Cinta yang dibintangi Nicolas Saputra dan Dian Sastrowardoyo yang dibesut Nurman Hakim begitu apik sehingga film ini mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik dalam Jakarta International Film Festival (JiFFest) tahun 2009.

Tak terbantah lagi, pesantren memiliki dimensi sosio-kultural yang unik sekaligus problematik jika ditautkan pada landasan etik-moral Syari’ah-fiqhiyyah maupun aqidah-ubudiyah yang memungkinkan hadirnya “setapak jalan” untuk menjalin nilai-nilai ekspresif seni dan budaya, dalam hal ini teater. Mampukah nilai-nilai tersebut oleh pegiat teater di pesantren dapat ditumbuh-suburkan dan dikembangkan tanpa menggedor subtansi keimanan dan prinsip-prinsip etika Islam dan kepesantrenan?

Walakhir, jika Tuhan dan apa yang diciptakannya adalah dunia yang acak, misterius, dan bak buku terbuka bagi siapa saja, maka tercetusnya seni dan pemikiran manusia tak lain atas sebab-Nya. Lantaran itu, segalanya bakal benderang untuk menuju cahaya-Nya.

Catatan:

Tulisan ini disampaikan pada acara “Orientasi Teater SATU dan Seminar Kekaryaan” yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Bahasa dan Sastra UNIPDU Jombang, pada 24 Desember 2009.

*Fahrudin Nasrulloh, pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang

Senin, 03 Agustus 2009

"Tafsir Depag RI : QS 002 - Al Baqarah 269"

Komunitas Musik Country Girilaja Mojokerto

Logo Komunitas Lembah Pring Jombang

Logo Komunitas Lembah Pring Jombang
Design by: Fahrudin Nasrulloh dan Samsul Nanggalrek