Senin, 03 Agustus 2009

"Tafsir Depag RI : QS 002 - Al Baqarah 269"

Minggu, 02 Agustus 2009

St Iesmaniasita dan Sastra Jawa Modern

[ Minggu, 29 Juni 2008 ]
Mengenang St Iesmaniasita, Mutiara yang Terlupakan dari Mojokerto
Pengarang Perempuan Pertama dalam Kesusastraan Jawa Modern


Bagi penikmat dan pengamat kesusatraan Jawa zaman kemerdekaan, St Iesmaniasita merupakan nama yang sudah tidak asing lagi. Banyak karyanya yang tersebar lewat majalah-majalah berbahasa Jawa, atau lewat kumpulan cerita pendek serta antologinya yang telah diterbitkan. Hasil karyanya berupa sajak (dalam sastra Jawa disebut geguritan atau guritan), cerita pendek (cerita cekak disingkat cekak).

KHOIRUL INAYAH, Mojokerto

-----------

Pada saat Kota Mojokerto merayakan HUT ke-90 pada 20 Juni lalu, nama Iesmaniasita sama sekali tak terdengar. Mungkin saja para pejabat di Kota Mojokerto ini tidak kenal, bahkan belum pernah mendengar namanya. Padahal, nama ini sudah tercatat sampai di mancanegara.

St Iesmaniasita memiliki nama lengkap Sulistyo Utami, lahir di Terusan, Mojokerto pada 18 Maret 1933. Terakhir menjadi guru di Kota Mojokerto.

Dari buku Wawasan Sastra Jawa Modern karya Poer Adhie Prawoto disebutkan bahwa Bu Is, panggilan akrab St Iesmaniasita, menghasilkan karya tak kurang dari 82 cerita pendek, 514 geguritan, serta beberapa esai yang membicarakan kesusastraan Jawa.

Adapun buku kumpulan hasil karyanya adalah, Kidung Wengi Ing Gunung Gamping (Nyanyian Malam di Gunung Kapur) diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1958, memuat 8 cerita pendek, masing-masing berjudul Kembang Mlathi Sagagang, Wengi ing Pinggir Kali, Lagu kang Wekasan, Lingsir ing Pesisir, Jugrug, Gerimis, Ing Sunaring Rembulan, Ing Sawijining Wengi.

Saat wartawan koran ini datang ke rumah keluarganya di Jl Jokotole No 19 Mojokerto, beberapa buku ini masih tersimpan di perpustakaan keluarga. ''Masih ada buku-bukunya, meskipun Bu Is sudah tidak ada,'' kata Lutvi, keponakan Bu Is.

Ia pun sempat menyebut sejumlah karyanya yang belum diterbitkan dan tersimpan rapi di perpustakaan keluarga. Karya-karya tersebut terhimpun dalam manuskrip berjudul Lintang Ketiga (Bintang di Musim Kemarau) memuat 6 cerita pendek yang ditulis dalam kurun waktu tahun 1957-1963 dan 16 buah geguritan yang bertiti mangsa tahun 1955 sampai 1959. ''Adakah pihak yang bersedia menerbitkan menjadi sebuah buku?'' tanya Lutvi balik.

Sedangkan beberpa karyanya yang sudah diterbitkan antara lain, buku kumpulan cerita pendek Kringet saka Tangan Prakosa (Keringat dari Tangan Perkasa) terbit tahun 1974 oleh Yayasan Penerbitan Jaya Baya, Surabaya, yang memuat cerita Tandure Ijo Kumlawe, Calon Ratu, Kringet saka Tangan Prakosa, Dinane Isih Riyaya, Atine Bocah. Buku Kalimput ing Pedhut (Tersaput Kabut) diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1976, memuat 3 buah cerita pendek, masing-masing Lagu Lingsir Wengi, Kalimput ing Pedhut, Rembulan Kalingan Mega dan 20 geguritan. Geguritan (Antologi Sajak-Sajak Jawa) diterbitkan Pustaka Sasanamulya, Surakarta tahun 1975. Merupakan kumpulan geguritan 13 orang penyair dengan 76 geguritan, termasuk 7 geguritan karya St Iesmaniasita. Mawar Mawar Ketiga, merupakan kumpulan geguritan yang diterbitkan Yayasan Penerbit Jaya Baya, Surabaya, tahun 1996, memuat 35 geguritan.

Perihal sosok St Iesmaniasita, ada catatan menarik datang dari Eko Edy Susanto, kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto. ''Setiap kali saya mengajukan pertanyaan kepada peserta Gus dan Yuk Kota Mojokerto, mereka selalu menjawab tidak mengenal sosok St Iesmaniasita,'' kata Eko Edy Susanto.

Cukup ironis, mengingat St Iesmaniasita adalah sosok penting dalam khazanah sastra Jawa modern. Namanya pernah tercatat pada Dictionary of Oriental Literature (George Allen and Unwinn ltd., London, 1974), Javanese Literature since Independence (JJ Ras, 1979), dan menerima Hadiah Sastra Rancage tahun 1999 karena jasa-jasanya dalam pengembangan sastra Jawa. Sejak 1958 menjadi guru di SD Negeri Purwotengah 2, lalu pindah ke SDN Wates 6 sampai menjadi kepala sekolah dan pensiun.

Selanjutnya, Cak Edy Karya -panggilan akrabnya- mengungkapkan, Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto dan Pemerintah Kabupaten Mojokerto pada 11 Maret 2005 memberikan penghargaan kepada St Iesmaniasita berupa uang Rp 3 juta sebagai penghargaan pada karya-karyanya. ''Penghargaan ini disampaikan langsung oleh Bapak Achmady, Bupati Mojokerto saat itu,'' ujar dia.

Saiful Bakri, Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Mojokerto dalam kesempatan lain memberikan kesannya. ''Pertama kali mengenal Bu Is ketika peluncuran Antologi Puisi Candi Terakota yang diterbitkan Forum Penyair Mojokerto. Orangnya pendiam, namun tegas,'' ujarnya.

Abdul Malik, Redaksi Jurnal Kebudayaan Banyumili menambahkan, pada tahun 1998 Dewan Kesenian Mojokerto mengadakan Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional dan sepuluh 10 terbaik dibukukan. ''Jurinya waktu itu Ibu Is, Pak Hardjono WS dan Aming Aminoedhin. Adalah suatu kehormatan bagi panitia karena yang memilih judul Antologi Puisi Surat di Jalan Berdebu adalah Bu Is,'' paparnya.

Malik pun bersyukur, Perpustakaan Umum Kota Mojokerto masih menyimpan koleksi 2 buku Bu Is. ''Masing-masing Kringet Saka Tangan Prakosa dan Kalimput ing Pedhut," ungkap Malik yang saat ini juga menjadi sekretaris Redaksi Majalah Kidung Dewan Kesenian Jawa Timur.

Dikatakannya, pada sebuah Seminar Sastra Modern di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 13-15 Desember 1988, Prapto Yuwono membawakan makalah setebal 13 halaman khusus mengulas karya-karya St Iesmaniasita. Berikut ini adalah sebagian tulisan dalam makalahnya," Ada kesan yang cukup mendalam setiap kali saya mengadakan pertemuan dengan puisi-puisi penyair ini. Kesan ini berlaku untuk sebagian besar puisi-puisinya, bahwa puisi-puisi penyair ini pada umumnya memiliki warna dasar kesedihan. Kesedihan-kesedihan itu dapat berupa: Karena perpisahan dengan kekasih, sehingga menimbulkan rindu, dendam, benci, dsb, karena kenyataan-kenyataan sosial yang memprihatinkan, karena bencana-bencana alam atau iklim alam yang menyengsarakan manusia, karena keinginan atau cita-cita tak sampai, karena dosa-dosa yang diderita manusia dsb. Demikian menyeluruh kesedihan yang diungkapkannya itu, sehingga kesan suram, kusam dan bahkan gelap meliputi puisi-puisinya. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa puisi-puisinya mengajak kita untuk juga turut bersedih, bahkan sebaliknya ada sikap-sikap yang selalu ingin ditampilkannya. Yakni, ketegaran, keangkuhan sekaligus kepasrahan, kerelaan dan rasa semangat untuk selalu bangkit dalam menghadapi kesedihan-kesedihannya itu. Dengan kata lain, tidak terasa sama sekali kesan ''cengeng'' di dalam puisi-puisinya." (*/nk)

Selasa, 21 Juli 2009

Ludruk Mustika Jaya

Pentas "Gembong Narkoba" ludruk Mustika Jaya Jombang

Tanggapan ludruk Mustika Jaya berlambar "Gembong Narkoba" ini ditanggap Yu Sri dari Desa Balongsuro Tembelang pada 13 Juli 2009 lalu. Petandak Sipon juga naik pentas malam itu. Agil Suwito sebagai pimpinan ludruk berusaha semaksimal mungkin memuaskan penonton. Para penonton sejak pukul 8 malam sudah berdusel-dusel di sana. Yu Sri si penanggap ternyata baru kali ini menanggap ludruk untuk sunatan anaknya. Maka, wayang saratpun digelar dengan menghadirkan dalang setempat. setelah puluhan petandak manggung, lalu dua pengremo tampil, kemudian tiga pelawak munggah panggung: Cemet, Mbah Tamin, dan lain-lain mulai mengocok perut hingga pantat penonton. Lepas jam 12-an para pelawak turun. dan seperti biasa, para penonton surut satu persatu meninggalkan panggung pertunjukan. Tapi show must go on, lakon "Gembong Narkoba" harus dilanjut. Adegan gontok yang seru bak adu-tanding beneran dimulai dengan menampilkan pegontok Cak Ngaidi dan Cak Raji. Si Ngaidi dengan toya bambunya mengganas menyerang Raji yang hanya menghadapinya dengan tangan kosong. Tar-ter-tor dan drak-druk-drak bergetar dari panggung yang sempat menyambar perhatian penonton untuk balik menonton kembali.

Tokoh dalam lakon "Gembong Narkoba" ini yang menonjol adalah Jalal yang baru keluar dari penjara. Ia merupakan kawan sebegundalan dengan si Jalil anak pukimak dan pendurhaka orangtua. Mereka berdua menggegerkan kampung, setelah si Jalil brengsek ini memaksa adik perempuannya untuk kawin dengan Jalal bangsat, meski adiknya tersebut telah bersuamikan Parman si pemuda kampung yang bekerja sebagai penjual kayu bakar.Jalil menganiaya adiknya, sampai-sampai adiknya yang telah mengandung besar itu mati. Tapi Jalal dan jalil tidak percaya atas kematian itu, dan mereka bersepakat untuk membuktikannya dengan menggali kuburannya.... Pentas ludrukan ini usai sekitar pukul 3, sebelum solah-salah tarkhim merayap ke semua orang di malam itu.


Ludruk Mustika Jaya
Pimpinan : Pak Agil
Kontak HP: 081913224211
Alamat : Desa Kedungrejo, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang


Oleh: Fahrudin Nasrulloh

Minggu, 19 Juli 2009

Novelis Jombang

Siti Sulami, Pelajar Novelis asal Desa Terpencil di Jombang

Berharap Lanjutkan Kuliah dari Hasil Menulis


Jangan pernah mengartikan bahwa cobaan adalah akhir sebuah cerita. Artikanlah ia sebagai sebuah episode baru kehidupan, dimana episode-episode berikutnya adalah jalan cerita menuju kebahagiaan

ROJIFUL MAMDUH, Jombang

---------------------------------------------------

DUA kalimat tersebut menutup novel berjudul Fatikah Cinta. Satu-satunya buah karya Siti Sulami, yang telah diterbitkan Pustaka Ilalang Lamongan. Dua novel lainnya rencananya segera menyusul untuk diterbitkan. Masing-masing dengan judul Ketika Maut Ikut BermimpiCinta dan Kehidupan.

''Keduanya masih dalam tahap penyelesaian,'' ujar siswi kelas XII/IPS MAN Genukwatu ini. Salah satu sekolah yang terletak di arah barat daya Kecamatan Ngoro, Jombang. Berjarak 20 kilometer dari pusat Kota Jombang. Sekaligus menjadi salah satu wilayah perbatasan antara Jombang dan Kediri.

Nuansa pedesaan masih sangat kental di lingkungan sekolah tersebut. Lebih dari 80 persen penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Dan lebih dari 60 persen luas lahan yang ada masih berupa areal persawahan. Termasuk yang mengelilingi bangunan sekolah tersebut.

Sulami sendiri sehari-hari tinggal di Dusun Sumbersari, Desa Genukwatu. Tepat di samping lokasi penggalian sirtu. Yang hanya berjarak dua kilometer dari sekolah. Namun jalan desa yang harus dilalui cukup sulit. Lantaran masih berupa tanah liat berbatu, yang menjadi sangat becek saat penghujan dan berdebu tebal saat kemarau. ''Kalau ke sekolah naik sepeda angin paling cuma 15 menit,'' ucapnya polos.

Bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Subandi dan Sulasiyah ini memang nampak cerdas. Di tengah keseriusan wawancara, dirinya masih sempat beberapa kali menyelipkan gurauan. ''Rumah saya memang di bawah ''bar'', barongan (rerimbunan pohon bambu, Red),'' ucapnya terkekeh.

Dara kelahiran 22 Juli 1990 ini mengaku mulai menulis sejak di bangku kelas XI. Setelah mendapat bimbingan dari guru ektrakurikulir kelompok ilmiah remaja (KIR). ''Mulanya sama Pak Faqih diajari dan diminta membuat karya tulis ilmiah,'' terangnya. Namun tak lama berselang, dirinya mulai diminta untuk menulis fiksi semisal cerpen. Setelah diberi bimbingan dan beberapa koleksi buku cerpen dan novel.

Sejak itu semangat menulisnya semakin tumbuh. Seiring besarnya minat baca yang dimiliki. Sampai-sampai, dia rela mengumpulkan uang sakunya hanya untuk membeli buku, selain pinjam buku dari sana-sini. Lantaran buku fiksi yang tersedia di kampus, telah habis dilahapnya.

''Saya juga selalu termotivasi untuk bisa seperti beberapa penulis cilik lainnya,'' terangnya. Diantaranya Fina Af'idatussofa, 17, siswi sekolah alternatif Qoryah Toyyibah Salatiga Jawa Tengah yang telah menulis sejumlah buku. Diantaranya Sebatas Angan Rindu, Lebih Asyik Tanpa UN, Just For you, Ustadz dan Gus Yahya Bukan Cinta Biasa.

''Saya juga idola Zizi,'' terangnya. Yakni Azizah Hefni, yang saat lulus dari bangku MAK Bahrul Ulum Tambakberas tahun 2004 telah menelorkan sejumlah antologi cerpen semisal Pertemuan di Rintik Hujan. Hingga kini, mahasiswi UIN Malang tersebut aktif menulis di berbagai media. ''Saya ingin terus menulis untuk biaya kuliah,'' terangnya.

Lantaran orang tuanya sudah secara terang-terangan menyatakan tidak mampu membiayai studi di perguruan tinggi. Selain sudah beranjak tua, usaha yang mereka geluti juga semakin sepi. ''Bapak sudah tua, sekarang jual buah pakai motor juga sering dirazia trantib,'' paparnya.

Sehingga kini sang bapak kian jarang berjualan. Karena itu pula, dari enam saudaranya, tidak ada satupun yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi. ''Rata-rata hanya lulus SMP, yang SMA cuma dua,'' terangnya.

Padahal tekadnya untuk melanjutkan studi sangat tinggi. ''Saya ingin kuliah di jurusan Sastra,'' terangnya. Agar dapat terus mengembangkan bakat menulisnya. ''Karena itu saya terus berusaha dan berdoa. Kalau Andrea Hirata bisa, saya yakin orang lain juga bisa,'' ujarnya sembari mengaku sudah membaca tiga bagian dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yakni Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor. ''Jika sukses, kelak saya ingin menulis memoar seperti dia,'' ucapnya ringan. (yr)


[ Rabu, 10 Desember 2008 ]
Sumber: http://www.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=48256

Seni-Budaya Jombang

Besutan: Teater Tradisional Jombang

Oleh: Nasrul Ilahi*

Besutan adalah kesenian tradisional asli Kabupaten Jombang yang merupakan pengembangan dari Kesenian Lerok dan merupakan cikal bakal Kesenian Ludruk. Kesenian Lerok merupakan kesenian yang bersifat amen. Pelakunya berpindah dari satu keramaian ke keramaian lain untuk menyuguhkan pertunjukan teater sederhana. Pelakunya semula tunggal yang melakukan monolog dan dalam perkembangannya pelakunya lebih dari satu orang. Lakon yang dibawakan merupakan cerminan dari kehidupan sehari-hari. Dari bermacam-macam lakon yang disuguhkan, ternyata yang menggunakan tokoh Besut paling digemari penonton. Lama kelamaan, karena lebih sering melakonkan Besut, maka keseniannya kemudian disebut Besutan.

Kata besutan berasal dari kata besut. Besut itu sendiri merupakan akronim dari kata beto maksud (membawa pesan). Ada juga yang mengatakan besut berasal dari kata besot (menari). Besut merupakan nama tokoh utama dalam teater Besutan. Tokoh Besut merupakan sosok laki-laki yang cerdas, terbuka, perhatian, kritis, transformatif, dan nyeni.

Dalam lakon Besutan, tokoh yang selalu hadir antara lain: Besut, Rusmini, Man Gondo, Sumo Gambar, dan Pembawa Obor. Tokoh lain bisa dimunculkan sesuai kebutuhan cerita. Besut yang gagah dan Rusmini yang cantik selalu menjadi sepasang kekasih atau sepasang suami istri. Sumo Gambar selalu berperan antagonis, sebenarnya sangat mencintai Rusmini, namun selalu bertepuk sebelah tangan. Man Gondo yang merupakan paman Rusmini, selalu berpihak pada Sumo Gambar, karena kekayaannya. Dengan tema apa pun lakon atau ceritanya, bumbu cinta segitiga antara Rusmini, Besut, dan Sumo Gambar selalu menjadi penyedapnya.

Busana Besut sangat sederhana. Tubuhnya dibalut kain putih yang melambangkan bersih jiwa dan raganya. Tali lawe melilit di perutnya melambangkan kesatuan yang kuat. Tutup kepalanya merah melambangkan keberanian yang tinggi. Busana Rusmini merupakan busana tradisional Jombang, menggunakan kain jarik, kebaya, dan kerudung lepas. Man Gondo berbusana Jawa Timuran, sedang Sumo Gambar berbusana ala pria Madura.

Ritual Besutan

Dalam pertunjukan Teater Rakyat Besutan, selalu diawali dengan semacam ritual yang berfungsi sebagai intro. Ritual ini menggambarkan bahwa Besut melambangkan masyarakat yang hidupnya terbelenggu, terjajah, terkebiri, dibutakan, dan hanya boleh berjalan menurut apa kata penguasa (baca: penjajah).

Dalam ritual, selalu dimulai dengan Pembawa Obor yang berjalan dengan penuh waspada, hati-hati, dan terus mengendalikan Besut yang selalu di belakangnya. Besut yang matanya terpejam (dilarang banyak tahu), mulutnya tersumbat susur (dilarang berpendapat), berjalan ngesot (merayap) mengikuti ke mana obor bergerak. Besut selalu sigap menanti setiap peluang. Pada satu kesempatan, Besut meloncat berdiri, tangannya merebut pegangan obor, dan dengan sekuat tenaga, susur yang ngendon di mulutnya disemprotkan ke nyala obor hingga padam. Mendadak matanya terbuka, mulutnya bebas, langsung menari dengan heroik.

Demikianlah, secara sederhana, gambaran teater rakyat yang bersama Besutan. Terus melestarikannya dan mengeksplorasinya merupakan tugas kaum seniman Jombang dan masyarakat Jombang secara keseluruhan.



*Nasrul Ilahi, Pemerhati budaya dan sebagai Kasi Pengembangan dan Pemberdayaan Kesenian pada Disporabudpar Jombang

Sarasehan Seniman Ludruk 2009

Sarasehan Seniman Ludruk 2009

Shared via AddThis

Minggu, 14 Juni 2009

Ludruk Karya Budaya


Ludruk Karya Budaya, Cermin Yang Hidup


Oleh : Jabbar Abdullah*

Marsudyo wong cilik biso gumuyu

(Berupayalah membuat orang kecil bisa tersenyum) -- Semar --

Segala yang menjadi perhatian sudah barang tentu memiliki “sesuatu” yang menarik dan patut untuk disimak. Begitu pula ketika membincangkan Ludruk Karya Budaya (LKB) yang menurut saya telah menjadi “legenda hidup” sebagai salah satu ludruk yang –mungkin– tertua dan pernah ada di Jawa Timur yang mampu bertahan hidup selama 40 tahun. Berangkat dari hasrat dan adanya “sesuatu” yang menarik itulah tulisan ini dimunculkan dengan maksud untuk menyelami lebih dalam proses kreatif LKB dalam melangsungkan tugas berkeseniannya untuk menjadikan kesenian ludruk lebih bermartabat dan terhormat serta bukan hanya sekadar hiburan saja.

Bagi yang sempat membaca, secara historis, sosok LKB telah diuraikan cukup gamblang oleh Khairul Inayah dengan judul “40 Tahun Ludruk Karya Budaya” pada Minggu (31/5) di rubrik Serambi Budaya, Radar Mojokerto. Untuk itu, dalam tulisan ini saya tidak akan mengulang-hadirkan lagi tentang riwayat hidup LKB. Lebih jauh, saya ingin mempertanyakan, apakah kita sebagai masyarakat kesenian (terutama di Mojokerto) benar-benar telah ber-andarbeni dan perhatian terhadap taqdir seni-budaya kita yang miliki?

Pada tanggal 29 Mei 2009 lalu, LKB telah berusia 40 tahun. Selama 40 tahun “berjihad” di ranah seni tradisi (ludruk), LKB (dalam kondisi apapun) telah menunjukkan diri sebagai sosok ludruk yang mandiri dan tangguh dengan tidak sekalipun mengemis, apalagi merengek-rengek untuk “disusui” oleh “Nippon” dalam menghidupi rumah tangga ludruknya. Lebih jauh, Cak Edy Karya menegaskan bahwa kebiasaan “menyusu” tidak baik untuk “kesehatan” (baca: martabat) ludruk itu sendiri, apalagi jika telah menjadi hobi. Bahkan, LKB semampu mungkin untuk dapat menjadi sosok ludruk yang “tangannya di atas daripada tangannya berada di bawah”. Sejak awal Cak Edy Karya telah menanamkan keyakinan kepada anggota ludruknya bahwa ludruk ini harus mampu mandiri dan tidak condong ke mana-mana.

Secara tidak langsung, prinsip kemandirian ini berdampak pada ruang gerak ludruk itu sendiri. Dalam konteks ini, sepertinya LKB telah memetik buahnya. Karena tidak terikat kepada siapapun dan apapun, LKB bebas terbang sesukanya untuk tampil –kapanpun dan di manapun– sesuai dengan job yang mereka terima hingga menerima undangan sebagai bintang tamu atau terkadang juga mengikuti beberapa lomba.

Prinsip lain yang tak kalah pentingnya adalah andarbeni (rasa memiliki). Cak Edy Karya menempatkan prinsip ini dalam skala prioritas yang sejak dini dan secara kontinyu harus selalu dipupuk demi mencegah perceraian dalam rumah tangga LKB. Kurangnya rasa andarbeni ini bisa jadi untuk ke depannya turut memberikan pengaruh kuat –bahkan menentukan– terhadap nasib atau “taqdir” hidup dan matinya LKB, mungkin juga bagi grup ludruk atau komunitas secara umum. Andarbeni dapat tumbuh subur manakala telah tercipta suasana yang kondusif dan kekeluargaan agar seluruh anggota dapat kerasan serta nyaman untuk tinggal di rumah bernama LKB. Sedangkan muaranya adalah kerinduan yang mendalam untuk pulang kala berada di luar rumah dan nyambangi tatkala ada anggotanya yang memasuki masa pensiun.

Sedangkan 3 bentuk komunikasi yang diterapkan LKB yang juga dalam rangka menjaga keharmonisan rumah tangga ludruknya adalah tedean, spelan dan nyebeng. “Tedean” merupakan bentuk komunikasi yang wajib dilakukan antara anggota yunior dan senior dalam rangka menumbuhkan keakraban dan mempererat rasa persaudaraan antara sesama anggota ludruk. Komunikasi berupa tanya-jawab seputar dunia ludruk, mulai dari keaktoran sampai urusan dapur. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi pengkastaan di antara anggotanya. Di samping itu, adanya tedean juga diharapkan dapat mengikis kecemburuan serta menjadi awal dari proses regenerasi.

Sementara spelan adalah bentuk komunikasi yang terjadi ketika hendak pentas dan naik panggung. Sedapat mungkin tiap-tiap anggota (terutama yunior) untuk bertanya (janjian) tentang kapan saatnya harus keluar (baca: naik panggung) yang biasanya terjadi saat menyuguhkan lawakan. Komunikasi semacam ini diperlukan juga turut menentukan kualitas sebuah pertunjukan ludruk. Seorang pemain diharapkan mampu berpikir kreatif agar pertunjukkan yang disuguhkan tidak monoton alias itu-itu melulu. Di samping itu, spelan juga bertujuan untuk menjaga efisiensi waktu agar tidak molor dari waktu yang telah ditentukan.

Kemudian komunikasi yang ketiga adalah nyebeng. Yakni komunikasi yang diwujudkan dengan diwajibkannya anggota yunior menonton atau melihat seniornya pentas. Lebih jauh lagi, sedapat mungkin nyebeng ini diterapkan di luar dengan menonton grup ludruk lainnya untuk menambah pengetahuan dan wawasan baru (kreatifitas) tentang dunia perludrukan. Komunikasi ini juga tidak menutup kemungkinan berlaku bagi anggota senior. Singkat kata, kalau ingin ditonton, maka juga harus mau menonton.

Dalam konteks sosial, LKB sadar betul bahwa mereka juga menjadi bagian dari masyarakat. Karena itulah mereka terus berupaya membangun pola interaksi yang baik saat menjalankan tugas kesenimanannya, baik secara individu maupun kolektif. Dengan kata lain, LKB memiliki tanggung jawab moral dan sosial ketika di hadapkan pada realitas masyarakat tempat di mana mereka berproses kreatif. Kesadaran inilah yang kemudian menjadikan LKB banyak mendapatkan apresiasi positif ketika pentas, baik dari masyarakat kesenian (penonton) maupun para pengamat ludruk. Kepercayaan ini tidak disia-siakan oleh LKB. Mereka senantiasa melakukan pembenahan diri (bercermin) di segala lini yang berkaitan dengan perludrukan dan membayar kepercayaan masyarakat dengan tampil sebaik-baiknya ketika mendapat tanggapan. Karena yang terpenting bagi Cak Edy Karya selaku pimpinan LKB adalah main yang baik dulu, urusan nominal belakangan.

Jika LKB mampu mencuri hati para penontonnya, maka tidak menutup kemungkinan kalau LKB bukan hanya menjadi milik dirinya sendiri melainkan juga akan menjadi milik semua lapisan masyarakat.

Kesadaran di atas jugalah yang membuat LKB terbebas dari “penyakit” kesenimanan, yaitu ujub (narsis atau ke-aku-an) dan eskapisme, yaitu seniman yang tidak konsisten dalam ngopeni kesenian yang digelutinya sehingga “loncat sana-loncat sini” untuk menutupi ketidak-kreatifannya. Seniman semacam ini biasanya mengalami krisis eksistensi karena ketidakmampuannya –kalau tidak dikatakan malas– menghidupi keseniannya.

Segala upaya LKB yang diuraikan di atas hingga sampai pada fase kesadaran sosialnya merupakan bentuk “jihad kebudayaan” yang akan terus ditumbuh-kembangkan hingga LKB tak berwujud sebagai ludruk lagi, atau lebih tepatnya menjadi “situs kebudayaan”. Terlepas dari apa wujud akhir LKB nanti, mereka tetaplah layak dijadikan “cermin hidup” bagi kawan ludruk lainnya dari segala sisinya, terlebih dari sisi kemandiriannya. Karena bagaimanapun, harga diri kesenian tradisi (dalam hal ini ludruk) menempati peringkat teratas untuk senantiasa diperjuangkan dan dipertahankan hingga “maut” menjemput ludruk.

Akhirnya, saya mengucapkan: selamat ulang tahun untuk Ludruk Karya Budaya yang ke-40. Semoga tetap jaya dan “jihad kebudayaan”-nya bermanfaat bagi umat kebudayaan serta tetap mencipta karya yang berbudaya. Amin.

--------------

Jabbar Abdullah, Pegiat Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto dan Pendiri Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto (PaLu-KB) di Facebook.

Sabtu, 23 Mei 2009

Adakah Sastra di Mojokerto?


Sumber: Radar Mojokerto, Minggu 10 Mei 2009

Adakah Sastra di Mojokerto?

Oleh: Jabbar Abdullah*


Jujur saja, sebenarnya judul di atas agak riskan jika dimunculkan ke permukaan. Namun, “keriskanan” itu akan sedikit berkurang manakala para pemerhati dan pelaku sastra di Mojokerto benar-benar mengetahui nasib sastra di Mojokerto yang mengalami “kesuwungan” dalam sisi aktifitasnya. Dalam catatan penulis, aktifitas sastra paling mutakhir di Mojokerto terjadi 2 bulan lalu (21/3), yakni saat komunitas Rabo Sore dari Universitas Negeri Surabaya yang menggelar workshop Kepenulisan Sastra yang bertempat di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Mojokerto, itupun dikhususkan untuk para guru Bahasa Indonesia saja. Padahal kalau dirunut kembali ke belakang, aktifitas sastra di Mojokerto semenjak menginjak tahun 2009 “nyaris tak terdengar”.

Mengawali evaluasi gerak sastra di Mojokerto, ada satu renungan menarik dari seorang kawan bernama Hadi Sucipto ketika “bertemu” dengan penulis di facebook. Cak Cip (panggilan akrab Hadi Sucipto), teringat ucapan kawannya dari Desa Temulus-Randublatung-Blora
namanya Pak Rukito. Ucapan kawannya itu dikirimkan ke kotak pesan saya, “Kita perlu membumikan teks tentang kesederhanaan, kemandirian, kejujuran, kerja kolektif dan keberanian... atau harus ada yang diperbuat demi masa depan? Maka sebelum hari ini berakhir, haruskah ada yang tinggal menjadi kenangan atau hanya jejak masa..?” begitu bunyi pesannya.

Pesan dari Cak Cip yang mengutip perkataan dari Pak Rukito di atas agaknya relevan dengan kondisi sastra di Mojokerto yang redup tapi tak mati. Seperti yang penulis katakan di awal, bahwa aktivitas sastra di Mojokerto selama tahun 2009 memang nyaris tidak ada gaungnya. Kalaupun ada, maka tak kurang dan tak lebih hanya sekadar “ide”. Nah, jawaban atas pertanyaan di sekitar gerak sastra atau gerak seni-budaya Mojokerto pada umumnya pada awal tahun 2009 agaknya dapat dilacak melalui peristiwa sarasehan sastra yang bertema Menapak Jejak Si Binatang Jalang, seminggu yang lalu atau tepatnya pada tanggal 2 Mei 2009. Di sini penulis hendak menegaskan, bahwa pengadaan acara diskusi sastra tersebut oleh Komunitas Sastra Mojokerto (penyelenggara) dimaksudkan untuk ”menguji” seberapa besar apresiasi umat kebudayaan Mojokerto (terutama kaum sastra) terhadap kegiatan sastra dan sekaligus juga ingin membuktikan seberapa kuat ”denyut” sastra itu sendiri di Mojokerto.

Terkait dengan ”ide” di atas, muncul lagi pertanyaan, adakah wadah untuk menampung ide kreatif para seniman tersebut? Jika yang menjadi wadah adalah sebuah lembaga semacam Dewan Kesenian, maka pertanyaannya, sejauhmana Dewan Kesenian tersebut mampu menjalankan peran dan fungsinya secara kongkrit? Jawabannya tentu saja tidak semudah berkata-kata. Namun apapun jawabannya, sepatutnya antara seniman dengan Dewan Kesenian, sebelum saling bersepakat untuk berjalan bersama-sama membangun kesenian dan kebudayaan, hendaknya saling bertemu untuk menjaring aspirasi serta menyatukan visi-misi terkait dengan gerak berkesenian dan gerak berkebudayaan. Menurut penulis, bagian terpenting dari itu semua adalah kesadaran untuk menjaga sikap steril (tidak condong kemana-mana) agar tidak melahirkan kecemburuan. Sikap steril juga dibutuhkan untuk menjaga lahirnya ”prasangka” atau ”stempel” bahwa ”ini” dan ”itu” adalah milik .....? Satu hal yang juga patut menjadi bahan pertimbangan adalah sudah saatnya mereorientasi gerak berkesenian, dari individual menuju kolektifitas (baca: pengabdian) dengan senantiasa berpijak pada asas manfaat.

Alhamdulillah. Akhirnya kegelisahan itu terjawab dengan berduyun-duyunnya apresiator dari segala lini seni-budaya – baik dari seniman tradisi, perupa, seniman teater maupun dari pegiat sastra sendiri –, bahkan acara diskusi lesehan itu dibuka langsung oleh Bapak Afandi selaku Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Mojokerto. Menariknya lagi, beliau bersama beberapa jajarannya, Pak Rejo dan Pak Budi, turut larut dalam kegayengan sarasehan sastra yang secara bersamaan juga menyajikan pentas monolog oleh Dian Sulaturrahman dari Teater Institut Surabaya serta musikalisasi puisi. Acara yang dimoderatori oleh Cak Chamim Kohari (Penyair Pesantren) dan berdurasi hampir 3 jam-an tersebut mengundang dua nara sumber, masing-masing adalah Fahrudin Nasrulloh (Cerpenis dan Pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang) dan Didik Wahyudi (Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya).

Dalam diskusi tersebut, terjadi dialektika yang menarik antara dua nara sumber dengan para apresiatornya terkait dengan ”mengenang” yang lampau. Fahrudin Nasrulloh, dengan makalahnya yang berjudul “Hari-hari Akhir Si Binatang Jalang”, dengan tegas mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang baru dari peristiwa mengenang. Namun yang perlu dipertanyakan adalah apa yang bisa disumbangsihkan oleh penyair dalam arus besar sastra Indonesia saat ini, terlebih saat berjalan beriringan dengan arus perpolitikan yang arusnya juga tak kalah besar, bahkan bisa jadi lebih mengerikan, lanjut Fahrudin, Cerpenis asal Jombang. Nara sumber lainnya, Didik Wahyudi, selaras dengan makalahnya yang berjudul ”Vox '45” menambahkan, dalam kondisi seperti ini penyair dituntut meluangkan waktunya untuk turut memperhatikan (paling tidak) kondisi politik di tempat mereka berproses kreatif. Karena lingkungan secara tidak langsung turut memberikan warna dalam karya yang dilahirkannya. Yang sempat menjadi pro-kontra terkait dengan politik adalah apakah seorang seniman juga harus berpolitik (seniman politik) atau cukup hanya berperan sebagai kritikus saja melalui karya-karyanya? Atau bikin partai seniman?

Adapun tamu lainnya yang hadir adalah Cak Edy Karya (Pimp. Ludruk Karya Budaya), Pak Koesen LD (Perupa dan Pengasuh Padepokan Bumi Pakarti Aji, Pacet), Hadi Sucipto (Perupa dan Guru SMAN I Gondang) dan istri, Ibu Umi Salamah (Guru Bahasa Indonesia SMAN 3 Kota Mojokerto), Aming Aminoeddin dan AF Tuasikal (Penyair Surabaya), Timur Budi Raja (Penyair asal Sumenep), Saiful Bakri (Penyair Buruh dan Biro Sastra Dewan Kesenian Kota Mojokerto), M. Misbach (Biro Teater Dewan Kesenian Kota Mojokerto), Bagus Mahayasa bersama beberapa anggota LAF, HMP Bahtra STKIP PGRI Jombang dan Komunitas Teater Ringin Conthong Jombang, Inswiardi (Pegiat teater), santri dan santriwati Ponpes Darul Falah Jeruk Macan-Gedeg, Suliadi (Komunitas Umpak Songo), Komunitas Sastra Pondok Kopi (Kiki Efendi, Jr Dosomuko dan Dadang Ari Murtono), Akhmad Fathoni (Komunitas Arek Japan), Komunitas Lembah Biru, Galuh Mutiaraningratri (siswi SMAN 3 Kota Mojokerto) serta Pak Djito (Pengasuh Padepokan Akar Mojo, Pacet). Nyaris semua tamu (terutama penyair) yang hadir sangat antusias untuk berekspresi dengan membacakan puisi Chairil Anwar dan beberapa karya puisi mereka sendiri. Baca puisi bersama itu semakin lengkap ketika Komunitas Musik Country Girilaja dengan Lidhie Art Forum berkolaborasi memusikalisasikan puisinya Charil Anwar yang berjudul Persetujuan Dengan Bung Karno (dilantunkan oleh Buyung Akhirul Akbarm) dan Kesabaran yang disuarakan oleh Gandis Uka.

Rasanya tidak berlebihan jika penulis mengabadikan acara diskusi sastra sederhana namun sarat makna itu dalam satu kalimat, yaitu malam seribu sastra. Pada malam itu juga terbuktikan bahwa ada sastra di Mojokerto. Sebagai penutup, penulis akan mengutip ujaran seorang guru ngaji yang selalu mengawali kegiatan ngajinya dengan berucap, “Ketika datang sebuah kebenaran (dari arah manapun), maka yang terjadi dua hal, yaitu ketersinggungan dan ketersentuhan.”


--------------------
* Jabbar Abdullah, Pegiat Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto dan Komunitas Sastra Mojokerto dan Forasamo.

Senin, 13 April 2009

Tim Pelestari dan Perlindungan

Menyoal Kesenian Jombang dan Ancangan Pengeksplorasiannya


Fahrudin Nasrulloh*



Yang lama musnah
Masa pun berubah
Dan di atas puing-puing reruntuhan
Mekarlah kehidupan baru

-- Willem Schiller --

Landasan Pemikiran Pelestarian dan Perlindungan

Pelestarian adalah sebuah proses panjang dan rumit namun urgen dalam sebentang ikhtiar sejauh mana kesenian dan budaya Jombang ditumbuh-lestarikan. Wacana ini, jika disepakati, tentunya akan menggulirkan pengkajian dalam ranah “ilmu-ilmu sosial” yang penggarapannya bertolak berdasarkan prosedur yang dianggap ilmiah, atau di sanalah sebentang penyajian dan penelusuran akan fakta diberlakukan. Dalam hal ini, ungkapan apa yang berlayapan tanpa terceritakan, membabarkan “kegelisahan kreatif” bahwa cikal-bakal yang terdapat dalam tradisi tutur suatu masyarakat layak dituliskan. Tapi benarkah hal itu layak dituliskan? Agar apa yang tertulis akan abadi dan yang terucap bakal lenyap dapat dijadikan pertimbangan yang masuk akal demi keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri, lebih-lebih, bagi generasi manusia Jombang.

Maka dari itu, ada tiga pokok penting dalam upaya Pelestarian ini. Pertama Konservasi: upaya penggalian kembali seni tradisi yang telah punah. Kedua Revitalisasi: upaya pemberdayaan kembali seni tradisi yang hampir punah atau tidak berkembang. Ketiga Eksplorasi: upaya pengembangan seni tradisi agar bisa diakomodasi secara lebih luas dalam konteks pergelaran dan pertunjukan, atau yang sejenisnya. Untuk sementara waktu, daftar seni tradisi dari Jombang dapat disebutkan semisal: Sandur Manduro, Wayang Topeng, Cerita Panji, Wayang Krucil, Kentrung, Ketoprak, Wayang Orang, Jaran Kepang, Ludruk, Hadrah ISHARI, Gambus Misri, Wayang Kulit, dan lain-lain.

Maping Problem: Sebuah Pembacaan Temporer

Seberapa jauh kerangka pemikiran dalam upaya konservasi, revitalisasi, dan eksplorasi tradisi seni-budaya Jombang didedahkan? Dengan metodologi apa? Berdasar rumusan kepenelitian yang bagaimana? Siapakah dan dalam kasipasitas akademik yang bagaimana si penulusur atau penulis tersebut bisa mempertanggungjawabkan hasilnya secara otoritatif dan kualitatif? Mungkin sejumput pertanyaan ini dapat dijadikan bahan awal serampung kita menyimak inventarisasi seputar kultur agraris yang telah bercokol lama, atau sedang tergerus arus modernisasi, atau bahkan telah sirna sama sekali.

Inventarisasi dan Katalogisasi

Setelah terketahui dan terpahami (setidaknya demikian yang terbayangkan) akan seberapa kompleks pemetaan problem di atas, maka paling tidak bakal sedikit tersingkap untuk memulai upaya Pelestarian dan Perlindungan ini. Langkah awal adalah pendataan kesenian yang selengkapnya dan sesegera mungkin. Kemudian, setelah upaya ini dapat berjalan dengan baik dan kontinyu, maka usaha katalogisasi dilakukan agar kita bisa melihat dan menimbang: apakah keberadaan warisan kesenian yang ada di Jombang ini dapat dibangkitkan dan dikembangkan? Pasti, hal ini membutuhkan perjuangan yang lama dan sejauh mana ketangguhan SDM Jombang mampu bekerja dengan baik, konsisten, ikhlas, dan memiliki agenda kerja yang jelas, transparan, dan sistemik.

Seputar Gagasan Penulisan dan Bayangan Implementasinya

Sejumlah gambaran data kesenian Jombang di atas tidak sekedar sebagai langkah awal. Pastilah masih banyak yang belum tertelusuri dan terdata. Ini merupakan “agenda besar dan panjang” bagi masyarakat Jombang, terutama bagi yang benar-benar berkonsentrasi pada warisan yang melimpah ini. Jika pemerintah setempat dapat bersinergi demi konservasi, revitalisasi, dan eksplorasi, tentu hal itu cukup sangat menggembirakan dan patut disambut dengan legawa dan sumringah. Namun jika setengah-setengah, atau bahkan tidak antusias sama sekali, lantas apa yang bisa diperbuat? Memang kita tidak memerlukan busa-busa kata dan gagasan yang muluk-muluk, tapi tindakan konkritlah yang terpenting. Atau satu per satu diurai-kembangkan. Menelusur, menyimak, dan mencatat! Terus dan terus dilakukan.

Maka pokok utama dari apa yang dimaksud dengan Sastra Agraris adalah menulis. Sesederhana apa pun dan bebas bagi siapa pun yang berminat dan tergerak untuk menuliskan riwayat dan perkembangan seni-budaya Jombang yang telah disebutkan di atas. Begitulah gambaran simpelnya dari Sastra Agraris. Diharapkan, bagi stake holder yang bersangkutan, semisal Pak Priyo, yang ngopeni tradisi Topeng Jati Duwur, atau Pak Tajuk Sutikno, Pak Darmono, Pak Agil, Pak Ali Markasan, dan lain-lain, yang menggeluti seni ludruk: dapat menuliskan apa saja yang dianggap penting agar ludruk tidak lagi dibilang mati suri atau bersengkarut-ruwet secara internal hingga kini. Kita tidak menghendaki, jika katakanlah 20 tahun kemudian, ludruk Jombang hanya tinggal cerita dalam ingatan yang lambat-laun pudar.

Sastra Agraris: Dialektika di Medan Fakta dan Fiksi

Menyoal perihal fakta dan fiksi, maka keterkaitan dengan agenda literasi dalam bentuk “Sastra Agraris” menjadi sangat urgen untuk sedikit dipaparkan. Hairus Salim, dalam pengantar editorial buku Hayat dan Karya (LKiS, 2002: Yogyakarta. Judul asli: Works and Lives, The Anthropologist as Author) anggitan Clifford Geertz, mengulik bahwa karya ini merupakan pemeriksaan kritis atas kedudukan ilmiah dan kedudukan literer ilmu antropologi, serta pada akhirnya masa depan ilmu antropologi. Topik ini, dan dari karya ini, selanjutnya memang memantik perhelatan serius dan provokatif dari semisal James Clifford dan George. G. Marcus dalam kumpulan esai terkenal yang mereka edit, Writing Culture (1986), atau pada Renato Rosaldo, untuk menyebut beberapa, yang pada gilirannya menimbulkan “krisis representasi” dan “krisis legitimasi”, bahkan “otoritas” dalam ilmu-ilmu sosial. Sosok Geertz bisa disebut sebagai salah satu orang yang telah membuka tirai perdebatan dan menyodok habis kemapanan ini. Pada paragraf ketiga, Hairus Salim menulis begini:

Dalam banyak hal, apa yang disebut fakta sesungguhnya adalah sesuatu yang fiktif. Sementara itu apa yang disebut fiksi, tak sepenuhnya imajinatif dan subjektif. Karya seorang novelis atau penyair, bukan turun tiba-tiba dari langit, tetapi hasil dari pergumulan dan pengalaman sosialnya. Artinya, karyanya pada dasarnya juga menyajikan fakta. Keduanya pada akhirnya sama-sama menyajikan “fakta”, yakni fakta yang ditafsirkan. Atau keduanya sama-sama merupakan fiksi: suatu ciptaan atau konstruksi.

Klaim fakta yang selama ini menjadi sandaran ilmiah ilmu-ilmu sosial telah melumer dan mencair. Watak imajinatif memang tak terelakkan dari karya-karya ilmu sosial: bagaimana tema dipilih, format dibangun, dan tulisan disusun semuanya melibatkan penafsiran, semuanya fiksi, seluruhnya konstruksi.

Kini bukan hanya tak gampang untuk menentukan jenis sebuah karya, tapi juga identitas kepengarangan seorang penulis atau seorang pengarang. Batas-batas kini tak lagi jelas. Termasuk batas-batas di dalam ilmu sosial, yang selama ini kita kenal sebagai “disiplin”. Prosedur-prosedur ilmiah yang selama ini dijadikan landasan umumnya sebuah disiplin, kini juga mengalami kegoncangan. Seluruh prosedur itu pada dasarnya fiksi juga, ciptaan juga, dan konstruksi juga. Ia semata justifikasi. Krisis ini melahirkan sifat interdisipliner atau bahkan anti-disiplin.

Pembentukan Tim Pelestarian dan Perlindungan

Satu hal yang perlu dicatat bahwa dengan terbentuknya Tim Pelestarian dan Perlindungan (TPP) Kesenian Jombang yang dikukuhkan seusai acara Dialog Budaya dengan tema “Restrukturisasi dan Revitalisasi Dewan Kesenian Jombang”, pada 5 November 2008, di Taman Tirta Wisata Jombang: diharapkan menjadi sebentang ikhtiar yang riil di mana yang terlibat diuji kredibilitas dan kapasitasnya dalam kinerja pengeksplorasian. Sedikit demi sedikit, di bawah pantauan Pak Nasrul Ilahi (wakil dari Dinas Parbupora Kabupaten Jombang), pendataan yang dilakukan TPP sangat membantu dalam pemetaan kesenian Jombang secara terus-menerus. Sementara, anggota TPP yang masih tetap bertahan hingga sekarang adalah: Bu Ellin, Bu Susnania, Pak Supriyo, Ngaidi Wibowo, Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Heru Cahyono, Fahrudin Nasrulloh, Koko Hari Pramono, dan Siti Sa’adah.

Dengan demikian, RKTL (Rencana Kerja Tindak Lanjut) dapat bergerak dengan baik sembari terus berkoreksi diri. Di bawah ini beberapa sampel agenda babon penulisan (selain yang termaktub di atas) yang sedang dalam proses penggarapan: Babad Kebokicak, Riwayat Ludruk di Jombang, Babad Jombang (Sejarah dan Perkembangan Kabupaten Jombang), Direktori Seniman Jombang, Di Balik Cerita Tokoh-tokoh Ludruk Jombang, dan lain masih banyak lagi.

Dari ilustrasi demikian, niscaya sangat dibutuhkan manusia-manusia Jombang (lepas dari balik kepentingan apa pun yang bersifat politis) yang dapat merumuskan “gerakan kebangkitan seni-budaya Jombang” dengan banyak cara dan strategi yang komunikatif, fleksibel, dan akomodatif. Pengharapan munculnya kantong-kantong kebudayaan semisal komunitas-komunitas seni, komunitas penulis (atau yang lebih riil berupa gagasan Jombang Creative Writing Institut. Semacam sekolah rakyat bidang beragam kepenulisan dari biografi, sejarah kota-desa, dongeng dan cerita rakyat, hingga penulisan cerpen, novel, puisi, dan naskah drama), para pegiat teater, pusat laboratorium riset, Museum Ludruk, Sanggar Perupa, Markeso Library Center, jurnal seni-budaya Jombang, Green Maping Wisata Jombang, Green Maping Kuliner Jombang, Green Maping Arsitektur Tua Kota Jombang, dan banyak lagi sejenis itu yang bisa diagendakan.

Apabila sekian ancangan atau ilustrasi di atas dapat direalisasikan, tentu, Jombang akan bisa bertarung dengan beberapa kota berbudaya lain (tentu dengan kadar masing-masing) semisal Jogja, Jakarta, Bandung, Bali, Riau, Surabaya, atau lebih dekat, Mojokerto. Setiap even seni-budaya mungkin kelak kita tidak akan bercermin atau dibayang-bayangi pada dan oleh kota-kota tersebut. Kita bisa menggelar festival-festival spektakuler sendiri dengan terlebih dahulu menimbang seberapa besar entitas seni-budaya Jombang dapat ditumbuh-suburkan secara alami, progresif, jujur, dan guyub. Selamat bergerak kawan-kawan TPP!

----------

Fahrudin Nasrulloh, Koordinator Tim Pelestarian dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang

Minggu, 12 April 2009

Profil Komunitas Lembah Pring


Bayangan Cerita: dari Komunitas Lembah Pring Jombang

"Puisi-puisi ini harus kita gotong ke pekuburannya! Ayo bergerak, sebelum tubuh diguyah payah, sebelum Sisifus datang, sebelum maghrib habis!" Demikian goyunan mereka di sela-sela ngopi di warkop Mbah Mo. Awalnya, Fahrudin Nasrulloh dan Jabbar Abdullah, yang sama-sama mencintai puisi bersepakat membikin semacam wadah untuk mendiskusikan karya-karya mereka, juga perkembangan sastra dewasa ini. Kenapa harus menjedulkan sebuah nama, semacam "komunitas" atau "padepokan", hanya untuk sekadar berdiskusi sastra? Apa tidak cukup ngobrol sastra di warung kopi, misalnya, atau di rumbukan pring belakang rumah? Tanpa embel-embel nama "komunitas", seperti membikin partai "orang bego" saja. Kiranya, mereka, hanyalah orang-orang tidak jelas (tapi punya "kegilaan kecil" atau "impian besar" yang terus dirawat tapi kehabisan obat), seperti sosok Chinowski dalam Factotum-nya Charles Bukowski.

Mungkin itu ilustasi dangkal bin konyol. Tapi biarlah. Setidaknya, mereka meyakini "kata-kata" yang kelak akan membentuk jalan hidup, dunia, dan tindakan dari "kata-kata" itu yang diikhtiarkan dapat mengubah apa yang terasa sia-sia. Seperti sajak Rendra ini: Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku, tetapi hidup yang tidak hidup, karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya....

Komunitas Lembah Pring berdiri pada 29 Agustus 2007. Penggagasnya adalah Fahrudin Nasrulloh (Mojokuripan, Sumobito). Sementara penggerak dan yang menjadi lurahnya adalah Jabbar Abdullah (Tropodo). Fahrudin yang sejak 1995 menetap di Jogja, lalu tertarik menggeluti sastra pada 1997 hingga sekarang, dan memutuskan pulang ke Jombang pada Agustus 2007, merasa tak menemukan "detak sastra" di kota santri itu. Dan Jabbar yang sudah lama tertarik menyimak dunia seni-budaya juga mengembangkan "gerak" Lembah Pring di Mojokerto, karena ia berdomisili di tlatah Majapahit itu.

Kini, anggotanya bertambah tiga orang: Dian Sukarno, seorang penulis dongeng, wartawan Radio Elshinta, dan motivator Paguyuban Tari Lung Ayu Jombang (asal Jogoroto); Lukiati, mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang, yang juga pengajar tak tetap di MIN I Jombang (asal Jogoroto); Fathul Qarib, pekerja honorer di Dinas Pariwisata Jombang, pengelola kios jual-beli ponsel dan pulsa, dan pengkaji dan pemburu naskah pesantren lawas (asal Tebuireng).

Demikian selintas gambaran Komunitas Lembah Pring (KLP) Jombang. Semoga bermanfaat. Amin

-------

Base camp:

1. Padepokan Komunitas Lembah Pring Jombang

d/a: Mojokuripan RT 1/ RW 3, Jogoloyo, Sumobito, Jombang

email: lembahpring@gmail.com,surabawuk@gmail.com

2. Padepokan Lembah Pring Mojokerto

d/a: Jl. Raya Tropodo, Kompleks Masjid Al-Barokah, Desa Meri, Kecamatan Magersari Mojokerto, 61315. Email: jallazim_2371983@yahoo.com,wali9_songo@yahoo.com

Teater Pelajar Mojokerto


Kabar Dari Festival Monolog SLTA Se-Jatim


Oleh: Jabbar Abdullah*


Kurang lebih 20 kontestan ikut memeriahkan Festival Monolog tingkat SLTA se-Jatim pada tanggal 30 April sampai dengan 1 Mei 2009, di antaranya adalah Tetaer Jingga dan Teater Samudera Ilahi (Mojokerto), Teater Alif (Mojoagung, Jombang), Teater Bambu (Lamongan) dan Teater Biru (SMUN I Kebomas, Gresik). Acara ini diselenggarakan oleh Paguyuban Teater “Q” Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam rangka Dies Natalis Teater “Q” yang ke-XVI, memperebutkan trophy Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. Untuk kepenjurian, panitia mengundang Meimura (Bendahara Dewan Kesenian Jawa Timur) yang akrab disapa Mas Mei, yang juga sutradara Teater Ragil Surabaya.

Juara pertama dalam ajang tersebut yang sekaligus sebagai penata artistik terbaik disematkan pada Teater Pilar (SMKN Sukorejo Pasuruan). Juara kedua direbut oleh Teater Sun (SMU Muhammadiyah 3 Jember) dan Teater Alusedina ( SMUN 8 Surabaya) menduduki peringkat ketiga. Sedangkan dua juara harapan masing-masing ditempati oleh Teater Extra dari SMU Muhammadiyah I Gresik (Harapan I) dan Teater Biru asal SMUN I Kebomas, Gresik ( Harapan II).

Di tengah riuhnya kegiatan kampanye politik, adalah kebanggaan tersendiri ketika ada dua komunitas teater pelajar dari Mojokerto yang turut berpartisipasi dalam festival tersebut. Dua komunitas teater pelajar tersebut adalah Teater Jingga (TJ)dari SMAN I Puri Kab. Mojokerto dan Teater Samudera Ilahi (TSI) dari MAN Sooko Kab. Mojokerto. Meskipun tidak menyandang predikat juara, keikutsertaan Teater Jingga dan Samudera Ilahi tetap laik mendapatkan aplaus (kalau bukan acungan jempol) karena mampu memompa kembali –paling tidak untuk saat ini– denyut teater di Mojokerto yang belakangan ini terasa melemah. Dalam catatan penulis, kegiatan terakhir pentas teater di Mojokerto yang sempat terekam adalah saat Andrew “Brengos” Widodo melangsungkan monolog bersama Teater Aprodit dari STIKES Dian Husada. Sementara yang terbaru adalah pentas teaternya Komunitas Rabo Sore dari Universitas Negeri Surabaya yang kemarin (22/3) menyempatkan diri mampir dan bermain di GOR Majapahit dengan mengusung naskah “Munajat Apel Merah” garapan Endro Wahyudi yang mengadaptasi puisinya A. Muttaqin dengan judul yang sama.

Dalam festival tersebut, teater Samudera Ilahi dan Jingga mengusung dua naskah monolog karya Riris K. Toha Sarumpaet yang masing-masing berlambar “Rumah dan Tetesan” dan “Kabar dan Darah”. Naskah “Rumah dan Tetesan” dibawakan oleh Efi Tri Jayanti (siswi MAN Sooko, Mojokerto) yang disutradari oleh Ika. Sedangkan naskah “Kabar dan Darah” disuguhkan oleh Selly Putri Wahyuni (siswa SMAN I Puri, Mojokerto) yang disutradari oleh Khusnatul Mardiyah. Sementara pengarah sutradara ditangani oleh Bagus Mahayasa.

Naskah “Kabar dan Darah” yang dimonologkan oleh Selly Putri Wahyuni berkisah tentang seorang ibu yang hendak mengabarkan kondisi pribadinya serta kondisi zaman yang tak lagi “nyaman”, karena sebagian manusia yang hidup di dalamnya telah menjadi “hamba” teknologi. Kekeliruan dalam menyikapi kemajuan teknologi juga telah merenggut “kemesraan” ibu tersebut dengan anak tercintanya, di mana anaknya juga telah menjadi “tumbal” teknologi yang telah mengalami disfungsi.

“Rumah tangga. Apa itu rumah tangga?” Begitulah petikan dialog dalam naskah “Rumah dan Tetesan” yang dibawakan oleh Efi Tri Jayanti. Gadis berjilbab ini memerankan sosok ibu setengah baya yang mengeluhkan rumah tangganya yang berantakan dengan segala sebabnya. Pada intinya, sosok ibu sebagai tokoh utamanya sedang melakukan perenungan untuk mencari hakikat sebuah kehidupan rumah tangga. Di tengah panggung berlatar makam, ibu tersebut mengelilingi makam ibunya untuk “curhat” kepada ibunya tentang nasib rumah tangganya yang ”miskin” akan kebahagiaan. Ibu itu nyaris putus asa dalam menemukan rumusan bangunan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah, sebuah muara yang secara umum ingin dicapai oleh pelaku rumah tangga.

Seperti yang penulis katakan di awal, bahwa tampilnya dua komunitas teater pelajar dalam ajang Festival Monolog se-Jatim tersebut –paling tidak untuk saat ini– sekiranya dapat dijadikan satu bahan renungan bersama di tengah ”suwung”-nya aktivitas seni-budaya di Mojokerto saat ini. Dalam penampilannya, Teater Jingga dan Samudera Ilahi tidak mau tampil hanya sebagai “tempelan” saja. Keduanya membanting tulang (berproses kreatif) untuk dapat menyajikan dan membuktikan bahwa teater Mojokerto (dalam hal ini teater pelajar) kehadirannya tidak dapat diabaikan begitu saja dan memang laik untuk ditonton dan diapresiasi, baik saat pentas di dalam maupun di luar kandang.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa yang sesungguhnya menyebabkan Mojokerto mengalami “suwung budaya”? Sebagai makhluk berbudaya, sejauhmana upaya dan tanggungjawab kongkrit kita untuk menumbuh-kembangkan dan meregenerasikan aset budaya yang dimiliki Mojokerto? Tidak mudah menjawab pertanyaan di atas. Dibutuhkan keberanian untuk menjawabnya. Dan keberanian itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar sadar betul akan perannya sebagai bagian dari umat kebudayaan. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa ngopeni seni-budaya itu tidak semudah berkata-kata. Untuk itu, sekiranya ungkapan dari M. Iqbal berikut ini dapat dijadikan renungan, bahwa: jangan sampai kebudayaan bunuh diri dengan pedangnya sendiri.


*Jabbar Abdullah: Pegiat Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto

Minggu, 05 April 2009

Seni-Budaya Jombang


[ Kamis, 13 November 2008 ]
Sumber:http://www1.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=41489

Gagas Perda Budaya
JOMBANG - Ikhtiar pelestarian aset kebudayaan tradisional kembali mencuat. Kali ini digagas sejumlah pekerja seni. Difasilitasi Seksi Kebudayaan Kantor Parbupora, pada 5 November lalu terbentuk Tim Pelestarian dan Perlindungan Budaya Jombang. Pertemuan itu berlangsung di Bale Apung Taman Tirta Wisata Desa Keplaksari Kecamatan Peterongan. Tim tersebut diketuai Fahrudin Nasrulloh, penulis dan pegiat di Komunitas Lembah Pring. Sejumlah personel yang terlibat dalam tim antara lain Supriyo (Wayang Topeng Jatiduwur Kesamben), Ellin dari MGMP Kesenian SMP, Inswiardi dari Seni Teater dan Tajuk Sutikno, Darmono, Ngaidi Wibowo (Seniman Ludruk). Nama-nama lain yagn masuk tim ini adalah Koko dari Seni Karawitan STKIP PGRI, Susnania dari MGMP Kesenian SMP, Ahmad Syamsurizal dari LSM ICHDRE, Jabbar Abdullah dari Komunitas Lembah Pring dan Dian Sukarno dari Sanggar Tari Lung Ayu.

Untuk mengerucutkan rencana aksi, tim kembali melakukan pertemuan di Bale Apung Taman Tirta Wisata. Pada kesempatan tersebut, Fahrudin, ketua tim melontarkan gagasan hasil pendataan aset kebudayaan tradisional. Ada 13 yang berhasil didata. Yakni, Tari Sandur, Waang Topeng, WayangKrucil, Kentrung, Ketoprak, Wayang Orang, Jaran Kepang, Ludruk, Terbangan Hadrah ISHARI, Gambus Misri, Macapat Bayen, Reog Jombangan dan Wayagn Kulit.

Dalam kesempatan tersebut, Fahrudin juga melontarkan kembali gagasan untuk mengangkat konsep kebudayaan Sastra Agraris. Dia menyebut, gagasan itu merupakan hasil rembug informal degnan sejumlah tokoh Jombang yang peduli dengan tradisi pada Mei silam. Antara lain Imam Ghozali, Sumrambah, Imam Mujiyanto, Andi Setyo Wibowo, Catur Budi Setiyo, Khairul Anam, Christianto Tripilu, Wijaya dan Ikhsanul Fikri. Gagasan itu diperkuat dengan lontaran Halim HD, budayawan Solo saat bertandang ke Jombang. ''Ke depan, tim in berencana melakukan kegiatankonservasi, revitalisasi dan eksplorasi kebudayaan,'' tutur Fahrudin.

Dia menyebut, saat ini dia bersama Dian Sukarno tengah menulis buku tentang tradisi Jombangan. Anara lain: Babad Kebo Kicak, Riwayat 40 Grup Ludruk, Babad Jombang, Direktori Seniman Jombang dan Cerita Kocak Dibalik Tokoh Ludruk. Dia mengajak pekerja seni dan para pihak yang peduli kebudayaan tradisi untuk berkontribusi dalam memperkaya gagasan tersebut.

Dian Sukarno yang hadir dalam diskusi kemarin menambahkan sejumlah aset budaya Jombang yang hampir punah. Yakni, Jidor Sentulan, Tari Gambyong atau Bedayan Anggleng dan Tandakan Grobogan.

Nasrul Illahi, Kasi Kebudayaan Kantor Parbupora mengapresiasi aksi para pekerja seni tersebut. Gerakan itu akan diperkuat dengan upaya membuat payung hukum. Bentuknya bisa peraturan daerah (perda) atau peraturan bupati (perbup). Regulasi tersebut diharapkan dapat melindungi seni tradisi dar gempuran budaya asing yang merusak. Payung hukum tersebut, lanjut dia, juga dibutuhkan untuk memberikan apresiasi bagi budayawan yang telah menghasilkan karya. ''Payung hukum itu juga perlu mengatur hak kekayaan intelektual bagi budayawan Jombang. Ini agar tidak terulang lagi klaim negara asing atas aset budaya lokal Indonesia,'' kata Nasrul. (lal)

Seni-Budaya Jombang

Jidor Sentulan: Jejak Warisan Prajurit Diponegoro
Oleh: Koko Hari Pramono*

ASAL-usul kesenian tradisional "Jidor Sentulan" pertama kali muncul pada kisaran tahun 1830-1840. Konon, kesenian ini dibawa oleh salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro pada saat Perang Diponegoro telah berhasil dipadamkan oleh Kompeni. Sekitar tahun 1830. Terbilang banyak prajurit Diponegoro yang tercerai-berai hingga berkelana ke daerah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ada kemungkinan salah satu atau beberapa dari prajurit Diponegoro tersebut sempat tinggal atau menetap di Dusun Sentulan atau Desa Bongkot, di mana jenis kesenian ini tumbuh di sini. Dan, seiring bergulirnya waktu, kesenian ini terus bergerak dan sangat digandrungi masyarakat di sekitarnya.

Keunikan kesenian Jidor Sentulan adalah pada penampilan prosesinya. Terdapat juga upacara ritual yang merupakan unsur perpaduan antara Islam dan Dinamisme. Karena pertunjukan ini dibalut oleh unsur musik yang mengusung irama terbang jidor dan dibarengi dengan lantunan suara yang mendengungkan nada salawat.

Pertunjukan ini juga dihiasi dengan aroma wangi kemenyan, yang merupakan ritus transisi dari zaman Animisme ke kepercayaan agama Islam. Kesenian ini merupakan sebuah cermin dalam upaya melihat perkembangan Islamisasi.

Menurut cerita rakyat, Jidor Sentulan merupakan hadiah kepada mempelai yang akan menikah dan hendak masuk Islam. Selain itu, masyarakat juga menggelar kesenian ini untuk memeriahkan acara khitanan.

Jidor Sentulan memiliki keunikan dan cirik has dibanding kesenian lainnya, karena dalam kesenian ini terdapat drama rakyat yang tidak mempunyai judul cerita. Peraga utama di Jidor Sentulan adalah "jepaplok" yang digambarkan dalam bentuk harimau kumbang dengan pencitraan yang dikenal dengan sebutan "kumbang semendung".

Alkisah, cerita drama pertunjukan Jidor Sentulan berawal ketika Mbah Wiroguno sedang berburu binatang di hutan. Di tengah rimba itu dia menemukan anak harimau yang kemudian anak harimau itu diambil oleh Mbah Wiroguno dan diberi nama "Semendung". Hewan peliharaan itu dirawatnya sampai menjadi harimau dewasa.

Ragam alat musik dalam Jidor Sentulan terdiri dari 1 kendang, 3 terbang, dan 1 jidor. Prosesi penampilan jidor sentulan terdiri dari kumbang semendung yang diperagakan oleh 2 orang. Orang pertama memegang kepala si kumbang, sedangkan orang kedua memegang ekornya. Ditambah simbolisasi lainnya yakni kera. Menurut Pak Hartono, kenapa kera yang dimunculkan, hal itu disebabkan hewan ini lebih mudah untuk dicari. Secara pribadi ia ingin menggambarkan harimau itu sebagai raja hutan, dengan asesoris bebulu merak pada kumbang semendung.

Unsur magis sangat kuat dalam pertunjukan ini. Tidak jarang para pemain kesurupan atau ndadi, sebab dalam diri kumbang semendung terdapat makhluk halus sebagai penunggunya. Ketika kumbang semendung dibanting berarti pertunjukan telah usai. Harus ada ritual, sebelum memainkan kumbang semendung, tetapi kebanyakan orang yang memainkannya tidak melakukan ritual resmi dengan membawa kemenyan.

Ciri khas dari Jidor Sentulan adalah adanya unsur magis yang dibalut unsur Islam yang kental dalam bentuk terbangan dan shalawatan. Jidor sentulan dikatakan jaranan karena terpengaruh alat musik jidornya.

Tidak ada unsur tari asli dalam jenis kesenian ini. Gerak tari para pemainnya lebih mirip dengan gerak pencak silat. Seni ini hanya menggambarkan pertarungan antara kumbang semendung dengan pengembala. Menurut cerita, suatu ketika si macan tidak diberi makan oleh pemiliknya sehingga kelaparan yang pada akhirnya hendak mencaplok pemiliknya.

Lambang-lambang yang terdapat pada kesenian Jidor Sentulang melukiskan sebuah matarantai kehidupan manusia melalui para pemerannya: laki-laki dan perempuan, tua dan muda, besar dan kecil, gelap dan terang, dan siang dan malam. Sedang simbol angka tunggal atau eka bermakna bumi atau Tuhan. Pemilihan simbol angka lima mengacu pada kepercayaan tradisional Jawa, yakni keblat papat lima pancer yang berujud garis lingkaran abadi tanpa awal dan akhir yang mengacu kepada Sang Hyang Tunggal (Tuhan).

Kini, sejauh mana jenis kesenian ini berkembang, tentu khalayak umum jarang mendengar atau menanggap dan mengapresiasinya. Meski demikian, Pak Hartono, yang dilahirkan pada 1951 di Jombang, yang juga pernah berkuliah di STSI Surakarta, masih tetap mencintai dan melestarikan warisan prajurit Diponegoro ini. (Kiriman dari Koko Hari Pramono, Tim Pelestari dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang)

Seni-Budaya Jombang


Tandak Grobogan yang Terus Bergerak
Oleh: Jabbar Abdullah dan Fahrudin Nasrulloh*

SENI tandak adalah sejenis seni tari yang nyaris sama dari tari remo ludruk Jawa Timuran.. Demikianlah yang dipahami dan yang nyata terjadi dari seni tandak yang terdapat di Dusun Grobogan, Desa Grobogan, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang.

Menurut Lurah Grobogan Tar'is atau yang akrab dipanggil Pak Rois, dari sudut pandang kenyataan yang umum, tandak Grobogan berbeda dengan tayub. Di mana tayub atau dalam acara tayuban yang merupakan tanggapan dalam rangka hajatan biasanya kerap mengundang atau berdampak berbagai hal negatif. Seperti minum minuman keras, main perempuan, dan perjudian. Serangkaian tanggapan berbentuk hajatan ini seringkali berupa acara sunatan atau mantenan.. Sementara tandak tidak demikian. Setidaknya, itulah yang terjadi di Grobogan. Demikian pula jika order tandak Grobogan manggung di luar daerah mereka.

Secara lebih terinci, menurut petandak Darmiasih dan Tumaji (dalang), keahlian tandak mencakup penguasaan tari remo dan sinden. Sebenarnya profesi dan menjadi sinden adalah sebuah keahlian tersendiri yang membutuhkan intensitas dan penguasaan yang optimal. Sementara tandak merupakan tahap awal belajar untuk dapat menari dan menyinden. Singkatnya, kemampuan nyinden itu yang utama. Sedang sebutan tandak biasanya adalah bagi pemula. Anggapan umum menyebut bahwa setiap petandak bercita-cita untuk menjadi pesinden yang memiliki suara bagus, dan karenanya order yang diperolehnya kian banyak. ''Biasane lunturane tandak niku sinden (biasanya habis jadi tandak itu jadi sinden, Red),'' demikian ungkap Darmiasih dan dikuatkan Tumaji, suaminya.

Grobogan Kandange Seniman

Saat ini ada sekitar 20-an seniman tandak di Dusun Grobogan. Seniman tandak di dusun ini dimulai oleh Fatimah sebelum tahun 70-an. Ia belajar tandak dari berbagai daerah, semisal dari Pare. Tahun 76 penari tandak ini sudah tiada dan secara alami berkelanjutan muncul beberapa penari tandak dari Grobogan ini. Mereka adalah Khotimah (belajar dari pengremo bernama Marto), Sutrani (belajar dari Mbak Putik), Sampini, Darmiasih (istri dalang Tumaji), Suliarni (istri dalang Matius), Suliarsih, Suliarning, Ratna (putri dalang Sutikno), Susiati, Tini, Murlinah, Bu Elis, Sartimah, Mbak Putik (almarhum), Bu Wibi (almarhum), Bu Santuni (almarhum).

Tandak Mengikuti Tanggapan Wayang

Di Dusun Grobogan ini tidak hanya bercokol seniman tandak, namun juga para dalang seperti Tumaji, Suwadi, Matius, Sutikno, dan Teguh Ponco Saputro. Keberadaan sejumlah dalang ini sangat menentukan keberadaan tandak dalam memeroleh tanggapan. Sebab, bisa dikatakan, tanpa adanya tanggapan wayang dan orderan dari para dalang ini, seniman tandak tidak akan bergerak atau mungkin keberadaan mereka tidak berkembang. Jadi, tandak sangat bergantung pada mereka. Demikian juga dengan keberadaan satu grup Jaran Kepang Kuda Kelana (kini berganti nama menjadi Jaran Kepang Sriwijaya) menjadi sangat menentukan keberlangsungan tandak, karena order tanggapan mereka berkait-erat dengan grup jaranan ini.

Keterjalinan antara dalang dan grup jaran kepang cukup vital bagi seniman tandak. Jika dua hal ini bubar, atau surut keberadaannya, pastilah seniman tandak ini juga demikian. Maka petandak, tidaklah berdiri sendiri. Tapi dalang dan jaranan bisa ditanggap dan terus eksis, sementara tandak secara mandiri perseorangan tidak pernah ditanggap. Biasanya tanggapan tiga poin kesenian ini pada bulan Juni sampai Oktober. Dan yang paling ramai terjadi pada bulan Agustus. ''Kuwalahan nampani tanggapan, Mas,'' ujar dalang Tumaji. ''Lha nek pun rendeng ngeten ngge tandak niku njagakno sing lanang," tambah Darmiasih.

Kampung Grobogan ini bisa dijadikan situs yang bergerak dengan 3 pokok kesenian tersebut. Pengembangan dan pembinaan sangatlah diperlukan. Jika ada sebutan "desa wisata", Grobogan dapat dijadikan contoh sebagai "dusun kesenian". Observasi ini perlu dikembangkan lagi.

* Jabbar Abdullah dan Fahrudin Nasrulloh, Tim Pelestari dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang.

Jumat, 03 April 2009

Esai

Buku Puisi versus Buku Cerpen

Fahrudin Nasrulloh*

Pada awalnya sejarah sastra kita adalah puisi. Dimulai dari pantun hingga puisi lama yang dapat disusuri lewat puisi-puisi Amir Hamzah. Selanjutnya berkembang di masa Chairil Anwar pada era 45. Kemudian gebrakan Sutardji Calzoum Bachri dengan membebaskan makna dari beban kata pada 1970-an dan Afrizal Malna pada 80-an dengan “puisi gelap”nya. Namun kini tampaknya belum ada gebrakan yang cukup mengejutkan dari perkembangan puisi terbaru kita. Meski gebyar kegiatan perpuisian terus digelar, semisal yang teranyar diselenggarakan di Kediri (26 Juni - 2 Juli 2008) dengan bendera: Pesta Penyair Nusantara 2008, yang menghadirkan D. Zawawi Imron, Ahmadun Y. Herfanda, Dato’ Kemala (Malaysia), Diah Hadaning, Kuspriyanto Namma, dan lain-lain. Hajatan akbar semacam ini kerap memancing polemik dan kasak-kusuk, seperti pada Anugerah Pena Kencana yang menggunakan polling sms bagi para penyair dan cerpenis yang kelak dinobatkan menjadi juara pada penganugerahan tersebut.

Di sisi lain, fenomena yang cukup membanggakan akhir-akhir ini ketika di hampir setiap tahun kita menyimak banyak penulis puisi bermekaran bak jamur di musim hujan. Sebagian karya-karya mereka bertebaran di sejumlah media lokal maupun nasional. Maka di kemudian waktu banyak pula dari mereka yang berontokan tak berkarya lagi sebab persaingan yang demikian ketat dan kuatnya tembok besi media massa. Sebab mutu puisi dan koneksilah yang jadi tolok ukurnya.

Alangkah saat ini banyak penulis puisi yang merasa hebat dengan puisi-puisi mereka. Tapi hanya segelintir yang benar-benar pantas disebut penyair. Lantaran demikian, media internet akhirnya menjadi salah satu alternatif bagi penulis puisi yang tak mendapatkan “tempat” itu. Lepas dari beragam asumsi di atas, tentu, fenomena ini menunjukkan “dimensi kreasi” yang patut dicatat. Bahwa geliat kreatifitas kepenulisan puisi di negeri ini layak mendapatkan porsi apresiasi yang akomodatif dan bermartabat.

Terkait dengan mutu karya, suatu saat, Ragil Suwarno Pragolapati dalam antologi puisi berumbul Genderang Kurukasetra (diterbitkan oleh FPBS-IKIP Muhammadiyah Yogyakarta, 1986) mengatakan, “Membuat sajak itu mudah. Bikin puisi beginian dapat saya lakukan sambil kencing! Sekali bikin jadi empat puluh puisi!” Ledekan pedas ini pernah ia sampaikan pada kurun 1971-1975, dalam beberapa diskusi Persada Studi Klub di Malioboro, Margayasan, Tegalmulya, Ngawangga, dan lain-lain. Sindiran itu sekaligus merespon karya Arswendo Atmowiloto Mengarang Itu Gampang (PT. Gramedia, 1982, Jakarta).

Di samping itu, realita ironis yang menonjol sekarang dari sejumlah penerbit yang menerbitkan buku puisi telah menunjukkan bahwa penjualan buku puisi terbilang cukup “pahit” bahkan mengenaskan. Buktinya, salah seorang pemilik sebuah penerbit di Yogyakarta pernah mengatakan kepada saya bahwa menerbitkan buku puisi itu semata demi “sedekah” untuk kelanggengan dan “keselamatan” penerbitnya. Juga bahwa menerbitkan buku puisi tak lain atas nama perkoncoan, misalnya, dengan biaya dari si penulis yang bersangkutan atau ongkos produksi ditanggung bareng. Sungguh tragis. Tapi nyata terjadi. Tak ada untungnya menerbitkan buku puisi, bahkan kerap merugi, imbuhnya.

Karena itu, mungkin hanya penerbit kelas kakap dan bermodal besar yang sudi-berani menerbitkan buku puisi. Penerbit-penerbit “alternatif” di Yogyakarta yang, konon bercacah 500-an itu, akan berpikir seribu kali untuk menerbitkan buku puisi. Selama ini, nyaris tidak ada buku puisi yang meledak di pasaran. Dan bila disimak-teliti, buku-buku puisi hanya diterbitkan oleh sejumlah penerbit yang memiliki apresiasi dan dana besar terhadap sastra. Semisal penerbit Grasindo (lini penerbit Gramedia Group), yang terhitung intens menerbitkan buku antologi puisi. Itu pun, karena penyairnya telah berproses kreatif cukup panjang dan diakui kualitas karyanya. Justru fenomena yang mengemuka saat ini adalah penerbitan buku antologi cerpen. Masa prosa kini mengalami perkembangan yang cukup berarti dan menjanjikan bagi cerpenis ketimbang penyair. Era penyair sejak angkatan 45 hingga angkatan 90-an telah menunjukkan masa yang lebih kondusif dibanding masa sekarang.

Menurut Maman S. Mahayana dalam Bermain dengan Cerpen (Gramedia: Jakarta, 2006), bahwa “Inflasi antologi puisi yang cenderung asal terbit, tanpa seleksi, boleh jadi merupakan pemicu yang mendongkrak popularitas cerpen dalam konstelasi peta kesusastraan Indonesia abad ke 21.” Jelas kini penulis cerpen lebih dihargai posisi tawarnya dibanding penulis puisi. Pun honorariumnya. Di sisi lain, pemantik ini dapat ditengarai lewat Jurnal Puisi yang dipandegani Sapardi dan Jeihan yang memang sudah lama tidak terbit lagi. Sedang Jurnal Cerpen yang digawangi Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua masih terus berjalan dan semakin lebih mantap. Bahkan setiap dua tahun sekali mereka mengadakan Kongres Cerpen mulai dari yang diselenggarakan di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), Pekanbaru (2005), dan Banjarmasin (2007). Ditambah lagi kontribusi dan greget penerbit Kompas sejak beberapa tahun silam yang kemudian di setiap tahunnya menerbitkan buku kumpulan Cerpen Pilihan Kompas yang monumental itu dan kelak bakal dijadikan catatan penting dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia.

Kiranya dapatlah diprediksi untuk sekian tahun ke depan bahwa cerpen masih menjadi catatan penting dalam “arus besar” peta kesusastraan kita ketimbang puisi dan novel. Meski dinamika ini tak juga melahirkan kritikus sastra yang berbobot. Di luar itu, tidaklah bisa diabaikan dedikasi dari sejumlah media koran (di samping jurnal seni, tabloid, dan majalah sastra) di negeri ini yang pada saban kalanya menerbitkan cerpen (juga puisi). Seiring dengan itu, buku antologi puisi dan antologi cerpen pun terus beterbitan dengan segala pernak-pernik riwayatnya. Kedua buku jenis ini hampir bukan buku yang laris-manis. Lain dari buku-buku bertema seperti Tuntunan Shalat, Yasin-Tahlil, atau Seni Seks Islami, yang pasti ludes-abis di pasar. Sebaliknya, buku puisi dan dan buku cerpen terkadang saban pameran buku di mana pun diobral mulai dari 3000 sampai 10.000 rupiah. Saya tidak tahu fenomena apa yang mengarus-miris di dalamnya. Dan, nun jauh dari fakta ironik tersebut, tidakkah buku-buku itu pada akhirnya hanyalah barang “klangenan” atau “tetirah sunyi” bagi pengarangnya?

-----

*Fahrudin Nasrulloh, Pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

Rebung Lembah Pring

Siswa SD Bangkitkan Guritan
| Kamis 21/08/2008
13:32:34
|

Sumber:http://surabayapos.co.id

Jombang – Surabaya Post

Banyak cara memperingati HUT RI ke-63 tahun ini. Salah satunya lewat lomba baca puisi tingkat Sekolah Dasar (SD) di Jombang. Ajang sastra di Pendapa UPTD Pendidikan Kecamatan Jombang, Selasa (19/8) diikuti 57 peserta dari 60 SD. Puisi yang yang dipilihkan panitia cukup unik dan menggugah, yaitu Tak Kutemukan Purnama di Surabaya karya M. Tauhed Supratman, Jangan Menangis Indonesia (Akhudiat), Getih Nang Treteg (Trinil), dan Karnaval (gubahan Aming Amineoddin). Dewan juri terdiri dari Fahrudin Nasrulloh (penyair dan cerpenis), Nanda Sukmana (Dosen Prodi Pendidikan Sastra dan Bahasa STKIP Jombang), dan Jabbar Abdullah (Lurah Komunitas Lembah Pring).

Lomba baca puisi ini, juara pertama dimenangkan Alfia Arindita dari SDN Jombatan 3 dengan membawakan puisi Getih Nang Treteg. Inilah bait pertama -- yang membakar semangat atas kepahlawanan arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945 itu. Juara II dimenangkan Elsa Khoirun Nisa (SDN Jombatan 3) dan juara III diraih Indana Rizqiya ( SDN Tambakrejo I).

Dalam evaluasi, tim juri menyampaikan beberapa catatan. Untuk memantik kreativitas, kegiatan berikutnya perlu digagas bahwa siswa yang mengikuti lomba bisa menampilkan karya puisinya sendiri. Diharapkan mereka memiliki keberanian untuk tampil dan mengungkapkan kejujuran dalam kreativitasnya.

Ajang semacam ini, kata sekretaris panitia lomba B. Sulisdianto, selain untuk menyemarakkan HUT RI ke 63 juga diharapkan diharapkan dapat menunjang kegiatan Porseni mendatang. Sementara menurut Imam Ghazali, Seksi Kesenian UPDT, pengenalan terhadap siswa akan bahasa dan sastra Jawa yang selama bisa dikatakan terabaikan.

“Makanya kami sodorkan pilihan puisi berbahasa Jawa atau guritan, selain yang berbahasa Indonesia.

Ternyata, apresiasi dari peserta, pada saat pembacaan puisi bahasa Jawa dan Indonesia, nyaris sebanding. Karena itu, dengan kegiatan ini diharapkan dapat menggelorakan dan mencintai tradisi membaca dan menulis puisi Jawa atau guritan. “Sepertinya ini penting dan mendesak untuk ditindaklanjuti,” jelas Imam Ghozali.(gim)

Komunitas Musik Country Girilaja Mojokerto

Logo Komunitas Lembah Pring Jombang

Logo Komunitas Lembah Pring Jombang
Design by: Fahrudin Nasrulloh dan Samsul Nanggalrek