Senin, 13 April 2009

Tim Pelestari dan Perlindungan

Menyoal Kesenian Jombang dan Ancangan Pengeksplorasiannya


Fahrudin Nasrulloh*



Yang lama musnah
Masa pun berubah
Dan di atas puing-puing reruntuhan
Mekarlah kehidupan baru

-- Willem Schiller --

Landasan Pemikiran Pelestarian dan Perlindungan

Pelestarian adalah sebuah proses panjang dan rumit namun urgen dalam sebentang ikhtiar sejauh mana kesenian dan budaya Jombang ditumbuh-lestarikan. Wacana ini, jika disepakati, tentunya akan menggulirkan pengkajian dalam ranah “ilmu-ilmu sosial” yang penggarapannya bertolak berdasarkan prosedur yang dianggap ilmiah, atau di sanalah sebentang penyajian dan penelusuran akan fakta diberlakukan. Dalam hal ini, ungkapan apa yang berlayapan tanpa terceritakan, membabarkan “kegelisahan kreatif” bahwa cikal-bakal yang terdapat dalam tradisi tutur suatu masyarakat layak dituliskan. Tapi benarkah hal itu layak dituliskan? Agar apa yang tertulis akan abadi dan yang terucap bakal lenyap dapat dijadikan pertimbangan yang masuk akal demi keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri, lebih-lebih, bagi generasi manusia Jombang.

Maka dari itu, ada tiga pokok penting dalam upaya Pelestarian ini. Pertama Konservasi: upaya penggalian kembali seni tradisi yang telah punah. Kedua Revitalisasi: upaya pemberdayaan kembali seni tradisi yang hampir punah atau tidak berkembang. Ketiga Eksplorasi: upaya pengembangan seni tradisi agar bisa diakomodasi secara lebih luas dalam konteks pergelaran dan pertunjukan, atau yang sejenisnya. Untuk sementara waktu, daftar seni tradisi dari Jombang dapat disebutkan semisal: Sandur Manduro, Wayang Topeng, Cerita Panji, Wayang Krucil, Kentrung, Ketoprak, Wayang Orang, Jaran Kepang, Ludruk, Hadrah ISHARI, Gambus Misri, Wayang Kulit, dan lain-lain.

Maping Problem: Sebuah Pembacaan Temporer

Seberapa jauh kerangka pemikiran dalam upaya konservasi, revitalisasi, dan eksplorasi tradisi seni-budaya Jombang didedahkan? Dengan metodologi apa? Berdasar rumusan kepenelitian yang bagaimana? Siapakah dan dalam kasipasitas akademik yang bagaimana si penulusur atau penulis tersebut bisa mempertanggungjawabkan hasilnya secara otoritatif dan kualitatif? Mungkin sejumput pertanyaan ini dapat dijadikan bahan awal serampung kita menyimak inventarisasi seputar kultur agraris yang telah bercokol lama, atau sedang tergerus arus modernisasi, atau bahkan telah sirna sama sekali.

Inventarisasi dan Katalogisasi

Setelah terketahui dan terpahami (setidaknya demikian yang terbayangkan) akan seberapa kompleks pemetaan problem di atas, maka paling tidak bakal sedikit tersingkap untuk memulai upaya Pelestarian dan Perlindungan ini. Langkah awal adalah pendataan kesenian yang selengkapnya dan sesegera mungkin. Kemudian, setelah upaya ini dapat berjalan dengan baik dan kontinyu, maka usaha katalogisasi dilakukan agar kita bisa melihat dan menimbang: apakah keberadaan warisan kesenian yang ada di Jombang ini dapat dibangkitkan dan dikembangkan? Pasti, hal ini membutuhkan perjuangan yang lama dan sejauh mana ketangguhan SDM Jombang mampu bekerja dengan baik, konsisten, ikhlas, dan memiliki agenda kerja yang jelas, transparan, dan sistemik.

Seputar Gagasan Penulisan dan Bayangan Implementasinya

Sejumlah gambaran data kesenian Jombang di atas tidak sekedar sebagai langkah awal. Pastilah masih banyak yang belum tertelusuri dan terdata. Ini merupakan “agenda besar dan panjang” bagi masyarakat Jombang, terutama bagi yang benar-benar berkonsentrasi pada warisan yang melimpah ini. Jika pemerintah setempat dapat bersinergi demi konservasi, revitalisasi, dan eksplorasi, tentu hal itu cukup sangat menggembirakan dan patut disambut dengan legawa dan sumringah. Namun jika setengah-setengah, atau bahkan tidak antusias sama sekali, lantas apa yang bisa diperbuat? Memang kita tidak memerlukan busa-busa kata dan gagasan yang muluk-muluk, tapi tindakan konkritlah yang terpenting. Atau satu per satu diurai-kembangkan. Menelusur, menyimak, dan mencatat! Terus dan terus dilakukan.

Maka pokok utama dari apa yang dimaksud dengan Sastra Agraris adalah menulis. Sesederhana apa pun dan bebas bagi siapa pun yang berminat dan tergerak untuk menuliskan riwayat dan perkembangan seni-budaya Jombang yang telah disebutkan di atas. Begitulah gambaran simpelnya dari Sastra Agraris. Diharapkan, bagi stake holder yang bersangkutan, semisal Pak Priyo, yang ngopeni tradisi Topeng Jati Duwur, atau Pak Tajuk Sutikno, Pak Darmono, Pak Agil, Pak Ali Markasan, dan lain-lain, yang menggeluti seni ludruk: dapat menuliskan apa saja yang dianggap penting agar ludruk tidak lagi dibilang mati suri atau bersengkarut-ruwet secara internal hingga kini. Kita tidak menghendaki, jika katakanlah 20 tahun kemudian, ludruk Jombang hanya tinggal cerita dalam ingatan yang lambat-laun pudar.

Sastra Agraris: Dialektika di Medan Fakta dan Fiksi

Menyoal perihal fakta dan fiksi, maka keterkaitan dengan agenda literasi dalam bentuk “Sastra Agraris” menjadi sangat urgen untuk sedikit dipaparkan. Hairus Salim, dalam pengantar editorial buku Hayat dan Karya (LKiS, 2002: Yogyakarta. Judul asli: Works and Lives, The Anthropologist as Author) anggitan Clifford Geertz, mengulik bahwa karya ini merupakan pemeriksaan kritis atas kedudukan ilmiah dan kedudukan literer ilmu antropologi, serta pada akhirnya masa depan ilmu antropologi. Topik ini, dan dari karya ini, selanjutnya memang memantik perhelatan serius dan provokatif dari semisal James Clifford dan George. G. Marcus dalam kumpulan esai terkenal yang mereka edit, Writing Culture (1986), atau pada Renato Rosaldo, untuk menyebut beberapa, yang pada gilirannya menimbulkan “krisis representasi” dan “krisis legitimasi”, bahkan “otoritas” dalam ilmu-ilmu sosial. Sosok Geertz bisa disebut sebagai salah satu orang yang telah membuka tirai perdebatan dan menyodok habis kemapanan ini. Pada paragraf ketiga, Hairus Salim menulis begini:

Dalam banyak hal, apa yang disebut fakta sesungguhnya adalah sesuatu yang fiktif. Sementara itu apa yang disebut fiksi, tak sepenuhnya imajinatif dan subjektif. Karya seorang novelis atau penyair, bukan turun tiba-tiba dari langit, tetapi hasil dari pergumulan dan pengalaman sosialnya. Artinya, karyanya pada dasarnya juga menyajikan fakta. Keduanya pada akhirnya sama-sama menyajikan “fakta”, yakni fakta yang ditafsirkan. Atau keduanya sama-sama merupakan fiksi: suatu ciptaan atau konstruksi.

Klaim fakta yang selama ini menjadi sandaran ilmiah ilmu-ilmu sosial telah melumer dan mencair. Watak imajinatif memang tak terelakkan dari karya-karya ilmu sosial: bagaimana tema dipilih, format dibangun, dan tulisan disusun semuanya melibatkan penafsiran, semuanya fiksi, seluruhnya konstruksi.

Kini bukan hanya tak gampang untuk menentukan jenis sebuah karya, tapi juga identitas kepengarangan seorang penulis atau seorang pengarang. Batas-batas kini tak lagi jelas. Termasuk batas-batas di dalam ilmu sosial, yang selama ini kita kenal sebagai “disiplin”. Prosedur-prosedur ilmiah yang selama ini dijadikan landasan umumnya sebuah disiplin, kini juga mengalami kegoncangan. Seluruh prosedur itu pada dasarnya fiksi juga, ciptaan juga, dan konstruksi juga. Ia semata justifikasi. Krisis ini melahirkan sifat interdisipliner atau bahkan anti-disiplin.

Pembentukan Tim Pelestarian dan Perlindungan

Satu hal yang perlu dicatat bahwa dengan terbentuknya Tim Pelestarian dan Perlindungan (TPP) Kesenian Jombang yang dikukuhkan seusai acara Dialog Budaya dengan tema “Restrukturisasi dan Revitalisasi Dewan Kesenian Jombang”, pada 5 November 2008, di Taman Tirta Wisata Jombang: diharapkan menjadi sebentang ikhtiar yang riil di mana yang terlibat diuji kredibilitas dan kapasitasnya dalam kinerja pengeksplorasian. Sedikit demi sedikit, di bawah pantauan Pak Nasrul Ilahi (wakil dari Dinas Parbupora Kabupaten Jombang), pendataan yang dilakukan TPP sangat membantu dalam pemetaan kesenian Jombang secara terus-menerus. Sementara, anggota TPP yang masih tetap bertahan hingga sekarang adalah: Bu Ellin, Bu Susnania, Pak Supriyo, Ngaidi Wibowo, Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Heru Cahyono, Fahrudin Nasrulloh, Koko Hari Pramono, dan Siti Sa’adah.

Dengan demikian, RKTL (Rencana Kerja Tindak Lanjut) dapat bergerak dengan baik sembari terus berkoreksi diri. Di bawah ini beberapa sampel agenda babon penulisan (selain yang termaktub di atas) yang sedang dalam proses penggarapan: Babad Kebokicak, Riwayat Ludruk di Jombang, Babad Jombang (Sejarah dan Perkembangan Kabupaten Jombang), Direktori Seniman Jombang, Di Balik Cerita Tokoh-tokoh Ludruk Jombang, dan lain masih banyak lagi.

Dari ilustrasi demikian, niscaya sangat dibutuhkan manusia-manusia Jombang (lepas dari balik kepentingan apa pun yang bersifat politis) yang dapat merumuskan “gerakan kebangkitan seni-budaya Jombang” dengan banyak cara dan strategi yang komunikatif, fleksibel, dan akomodatif. Pengharapan munculnya kantong-kantong kebudayaan semisal komunitas-komunitas seni, komunitas penulis (atau yang lebih riil berupa gagasan Jombang Creative Writing Institut. Semacam sekolah rakyat bidang beragam kepenulisan dari biografi, sejarah kota-desa, dongeng dan cerita rakyat, hingga penulisan cerpen, novel, puisi, dan naskah drama), para pegiat teater, pusat laboratorium riset, Museum Ludruk, Sanggar Perupa, Markeso Library Center, jurnal seni-budaya Jombang, Green Maping Wisata Jombang, Green Maping Kuliner Jombang, Green Maping Arsitektur Tua Kota Jombang, dan banyak lagi sejenis itu yang bisa diagendakan.

Apabila sekian ancangan atau ilustrasi di atas dapat direalisasikan, tentu, Jombang akan bisa bertarung dengan beberapa kota berbudaya lain (tentu dengan kadar masing-masing) semisal Jogja, Jakarta, Bandung, Bali, Riau, Surabaya, atau lebih dekat, Mojokerto. Setiap even seni-budaya mungkin kelak kita tidak akan bercermin atau dibayang-bayangi pada dan oleh kota-kota tersebut. Kita bisa menggelar festival-festival spektakuler sendiri dengan terlebih dahulu menimbang seberapa besar entitas seni-budaya Jombang dapat ditumbuh-suburkan secara alami, progresif, jujur, dan guyub. Selamat bergerak kawan-kawan TPP!

----------

Fahrudin Nasrulloh, Koordinator Tim Pelestarian dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang

Minggu, 12 April 2009

Profil Komunitas Lembah Pring


Bayangan Cerita: dari Komunitas Lembah Pring Jombang

"Puisi-puisi ini harus kita gotong ke pekuburannya! Ayo bergerak, sebelum tubuh diguyah payah, sebelum Sisifus datang, sebelum maghrib habis!" Demikian goyunan mereka di sela-sela ngopi di warkop Mbah Mo. Awalnya, Fahrudin Nasrulloh dan Jabbar Abdullah, yang sama-sama mencintai puisi bersepakat membikin semacam wadah untuk mendiskusikan karya-karya mereka, juga perkembangan sastra dewasa ini. Kenapa harus menjedulkan sebuah nama, semacam "komunitas" atau "padepokan", hanya untuk sekadar berdiskusi sastra? Apa tidak cukup ngobrol sastra di warung kopi, misalnya, atau di rumbukan pring belakang rumah? Tanpa embel-embel nama "komunitas", seperti membikin partai "orang bego" saja. Kiranya, mereka, hanyalah orang-orang tidak jelas (tapi punya "kegilaan kecil" atau "impian besar" yang terus dirawat tapi kehabisan obat), seperti sosok Chinowski dalam Factotum-nya Charles Bukowski.

Mungkin itu ilustasi dangkal bin konyol. Tapi biarlah. Setidaknya, mereka meyakini "kata-kata" yang kelak akan membentuk jalan hidup, dunia, dan tindakan dari "kata-kata" itu yang diikhtiarkan dapat mengubah apa yang terasa sia-sia. Seperti sajak Rendra ini: Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku, tetapi hidup yang tidak hidup, karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya....

Komunitas Lembah Pring berdiri pada 29 Agustus 2007. Penggagasnya adalah Fahrudin Nasrulloh (Mojokuripan, Sumobito). Sementara penggerak dan yang menjadi lurahnya adalah Jabbar Abdullah (Tropodo). Fahrudin yang sejak 1995 menetap di Jogja, lalu tertarik menggeluti sastra pada 1997 hingga sekarang, dan memutuskan pulang ke Jombang pada Agustus 2007, merasa tak menemukan "detak sastra" di kota santri itu. Dan Jabbar yang sudah lama tertarik menyimak dunia seni-budaya juga mengembangkan "gerak" Lembah Pring di Mojokerto, karena ia berdomisili di tlatah Majapahit itu.

Kini, anggotanya bertambah tiga orang: Dian Sukarno, seorang penulis dongeng, wartawan Radio Elshinta, dan motivator Paguyuban Tari Lung Ayu Jombang (asal Jogoroto); Lukiati, mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang, yang juga pengajar tak tetap di MIN I Jombang (asal Jogoroto); Fathul Qarib, pekerja honorer di Dinas Pariwisata Jombang, pengelola kios jual-beli ponsel dan pulsa, dan pengkaji dan pemburu naskah pesantren lawas (asal Tebuireng).

Demikian selintas gambaran Komunitas Lembah Pring (KLP) Jombang. Semoga bermanfaat. Amin

-------

Base camp:

1. Padepokan Komunitas Lembah Pring Jombang

d/a: Mojokuripan RT 1/ RW 3, Jogoloyo, Sumobito, Jombang

email: lembahpring@gmail.com,surabawuk@gmail.com

2. Padepokan Lembah Pring Mojokerto

d/a: Jl. Raya Tropodo, Kompleks Masjid Al-Barokah, Desa Meri, Kecamatan Magersari Mojokerto, 61315. Email: jallazim_2371983@yahoo.com,wali9_songo@yahoo.com

Teater Pelajar Mojokerto


Kabar Dari Festival Monolog SLTA Se-Jatim


Oleh: Jabbar Abdullah*


Kurang lebih 20 kontestan ikut memeriahkan Festival Monolog tingkat SLTA se-Jatim pada tanggal 30 April sampai dengan 1 Mei 2009, di antaranya adalah Tetaer Jingga dan Teater Samudera Ilahi (Mojokerto), Teater Alif (Mojoagung, Jombang), Teater Bambu (Lamongan) dan Teater Biru (SMUN I Kebomas, Gresik). Acara ini diselenggarakan oleh Paguyuban Teater “Q” Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam rangka Dies Natalis Teater “Q” yang ke-XVI, memperebutkan trophy Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. Untuk kepenjurian, panitia mengundang Meimura (Bendahara Dewan Kesenian Jawa Timur) yang akrab disapa Mas Mei, yang juga sutradara Teater Ragil Surabaya.

Juara pertama dalam ajang tersebut yang sekaligus sebagai penata artistik terbaik disematkan pada Teater Pilar (SMKN Sukorejo Pasuruan). Juara kedua direbut oleh Teater Sun (SMU Muhammadiyah 3 Jember) dan Teater Alusedina ( SMUN 8 Surabaya) menduduki peringkat ketiga. Sedangkan dua juara harapan masing-masing ditempati oleh Teater Extra dari SMU Muhammadiyah I Gresik (Harapan I) dan Teater Biru asal SMUN I Kebomas, Gresik ( Harapan II).

Di tengah riuhnya kegiatan kampanye politik, adalah kebanggaan tersendiri ketika ada dua komunitas teater pelajar dari Mojokerto yang turut berpartisipasi dalam festival tersebut. Dua komunitas teater pelajar tersebut adalah Teater Jingga (TJ)dari SMAN I Puri Kab. Mojokerto dan Teater Samudera Ilahi (TSI) dari MAN Sooko Kab. Mojokerto. Meskipun tidak menyandang predikat juara, keikutsertaan Teater Jingga dan Samudera Ilahi tetap laik mendapatkan aplaus (kalau bukan acungan jempol) karena mampu memompa kembali –paling tidak untuk saat ini– denyut teater di Mojokerto yang belakangan ini terasa melemah. Dalam catatan penulis, kegiatan terakhir pentas teater di Mojokerto yang sempat terekam adalah saat Andrew “Brengos” Widodo melangsungkan monolog bersama Teater Aprodit dari STIKES Dian Husada. Sementara yang terbaru adalah pentas teaternya Komunitas Rabo Sore dari Universitas Negeri Surabaya yang kemarin (22/3) menyempatkan diri mampir dan bermain di GOR Majapahit dengan mengusung naskah “Munajat Apel Merah” garapan Endro Wahyudi yang mengadaptasi puisinya A. Muttaqin dengan judul yang sama.

Dalam festival tersebut, teater Samudera Ilahi dan Jingga mengusung dua naskah monolog karya Riris K. Toha Sarumpaet yang masing-masing berlambar “Rumah dan Tetesan” dan “Kabar dan Darah”. Naskah “Rumah dan Tetesan” dibawakan oleh Efi Tri Jayanti (siswi MAN Sooko, Mojokerto) yang disutradari oleh Ika. Sedangkan naskah “Kabar dan Darah” disuguhkan oleh Selly Putri Wahyuni (siswa SMAN I Puri, Mojokerto) yang disutradari oleh Khusnatul Mardiyah. Sementara pengarah sutradara ditangani oleh Bagus Mahayasa.

Naskah “Kabar dan Darah” yang dimonologkan oleh Selly Putri Wahyuni berkisah tentang seorang ibu yang hendak mengabarkan kondisi pribadinya serta kondisi zaman yang tak lagi “nyaman”, karena sebagian manusia yang hidup di dalamnya telah menjadi “hamba” teknologi. Kekeliruan dalam menyikapi kemajuan teknologi juga telah merenggut “kemesraan” ibu tersebut dengan anak tercintanya, di mana anaknya juga telah menjadi “tumbal” teknologi yang telah mengalami disfungsi.

“Rumah tangga. Apa itu rumah tangga?” Begitulah petikan dialog dalam naskah “Rumah dan Tetesan” yang dibawakan oleh Efi Tri Jayanti. Gadis berjilbab ini memerankan sosok ibu setengah baya yang mengeluhkan rumah tangganya yang berantakan dengan segala sebabnya. Pada intinya, sosok ibu sebagai tokoh utamanya sedang melakukan perenungan untuk mencari hakikat sebuah kehidupan rumah tangga. Di tengah panggung berlatar makam, ibu tersebut mengelilingi makam ibunya untuk “curhat” kepada ibunya tentang nasib rumah tangganya yang ”miskin” akan kebahagiaan. Ibu itu nyaris putus asa dalam menemukan rumusan bangunan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah, sebuah muara yang secara umum ingin dicapai oleh pelaku rumah tangga.

Seperti yang penulis katakan di awal, bahwa tampilnya dua komunitas teater pelajar dalam ajang Festival Monolog se-Jatim tersebut –paling tidak untuk saat ini– sekiranya dapat dijadikan satu bahan renungan bersama di tengah ”suwung”-nya aktivitas seni-budaya di Mojokerto saat ini. Dalam penampilannya, Teater Jingga dan Samudera Ilahi tidak mau tampil hanya sebagai “tempelan” saja. Keduanya membanting tulang (berproses kreatif) untuk dapat menyajikan dan membuktikan bahwa teater Mojokerto (dalam hal ini teater pelajar) kehadirannya tidak dapat diabaikan begitu saja dan memang laik untuk ditonton dan diapresiasi, baik saat pentas di dalam maupun di luar kandang.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa yang sesungguhnya menyebabkan Mojokerto mengalami “suwung budaya”? Sebagai makhluk berbudaya, sejauhmana upaya dan tanggungjawab kongkrit kita untuk menumbuh-kembangkan dan meregenerasikan aset budaya yang dimiliki Mojokerto? Tidak mudah menjawab pertanyaan di atas. Dibutuhkan keberanian untuk menjawabnya. Dan keberanian itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar sadar betul akan perannya sebagai bagian dari umat kebudayaan. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa ngopeni seni-budaya itu tidak semudah berkata-kata. Untuk itu, sekiranya ungkapan dari M. Iqbal berikut ini dapat dijadikan renungan, bahwa: jangan sampai kebudayaan bunuh diri dengan pedangnya sendiri.


*Jabbar Abdullah: Pegiat Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto

Minggu, 05 April 2009

Seni-Budaya Jombang


[ Kamis, 13 November 2008 ]
Sumber:http://www1.jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=41489

Gagas Perda Budaya
JOMBANG - Ikhtiar pelestarian aset kebudayaan tradisional kembali mencuat. Kali ini digagas sejumlah pekerja seni. Difasilitasi Seksi Kebudayaan Kantor Parbupora, pada 5 November lalu terbentuk Tim Pelestarian dan Perlindungan Budaya Jombang. Pertemuan itu berlangsung di Bale Apung Taman Tirta Wisata Desa Keplaksari Kecamatan Peterongan. Tim tersebut diketuai Fahrudin Nasrulloh, penulis dan pegiat di Komunitas Lembah Pring. Sejumlah personel yang terlibat dalam tim antara lain Supriyo (Wayang Topeng Jatiduwur Kesamben), Ellin dari MGMP Kesenian SMP, Inswiardi dari Seni Teater dan Tajuk Sutikno, Darmono, Ngaidi Wibowo (Seniman Ludruk). Nama-nama lain yagn masuk tim ini adalah Koko dari Seni Karawitan STKIP PGRI, Susnania dari MGMP Kesenian SMP, Ahmad Syamsurizal dari LSM ICHDRE, Jabbar Abdullah dari Komunitas Lembah Pring dan Dian Sukarno dari Sanggar Tari Lung Ayu.

Untuk mengerucutkan rencana aksi, tim kembali melakukan pertemuan di Bale Apung Taman Tirta Wisata. Pada kesempatan tersebut, Fahrudin, ketua tim melontarkan gagasan hasil pendataan aset kebudayaan tradisional. Ada 13 yang berhasil didata. Yakni, Tari Sandur, Waang Topeng, WayangKrucil, Kentrung, Ketoprak, Wayang Orang, Jaran Kepang, Ludruk, Terbangan Hadrah ISHARI, Gambus Misri, Macapat Bayen, Reog Jombangan dan Wayagn Kulit.

Dalam kesempatan tersebut, Fahrudin juga melontarkan kembali gagasan untuk mengangkat konsep kebudayaan Sastra Agraris. Dia menyebut, gagasan itu merupakan hasil rembug informal degnan sejumlah tokoh Jombang yang peduli dengan tradisi pada Mei silam. Antara lain Imam Ghozali, Sumrambah, Imam Mujiyanto, Andi Setyo Wibowo, Catur Budi Setiyo, Khairul Anam, Christianto Tripilu, Wijaya dan Ikhsanul Fikri. Gagasan itu diperkuat dengan lontaran Halim HD, budayawan Solo saat bertandang ke Jombang. ''Ke depan, tim in berencana melakukan kegiatankonservasi, revitalisasi dan eksplorasi kebudayaan,'' tutur Fahrudin.

Dia menyebut, saat ini dia bersama Dian Sukarno tengah menulis buku tentang tradisi Jombangan. Anara lain: Babad Kebo Kicak, Riwayat 40 Grup Ludruk, Babad Jombang, Direktori Seniman Jombang dan Cerita Kocak Dibalik Tokoh Ludruk. Dia mengajak pekerja seni dan para pihak yang peduli kebudayaan tradisi untuk berkontribusi dalam memperkaya gagasan tersebut.

Dian Sukarno yang hadir dalam diskusi kemarin menambahkan sejumlah aset budaya Jombang yang hampir punah. Yakni, Jidor Sentulan, Tari Gambyong atau Bedayan Anggleng dan Tandakan Grobogan.

Nasrul Illahi, Kasi Kebudayaan Kantor Parbupora mengapresiasi aksi para pekerja seni tersebut. Gerakan itu akan diperkuat dengan upaya membuat payung hukum. Bentuknya bisa peraturan daerah (perda) atau peraturan bupati (perbup). Regulasi tersebut diharapkan dapat melindungi seni tradisi dar gempuran budaya asing yang merusak. Payung hukum tersebut, lanjut dia, juga dibutuhkan untuk memberikan apresiasi bagi budayawan yang telah menghasilkan karya. ''Payung hukum itu juga perlu mengatur hak kekayaan intelektual bagi budayawan Jombang. Ini agar tidak terulang lagi klaim negara asing atas aset budaya lokal Indonesia,'' kata Nasrul. (lal)

Seni-Budaya Jombang

Jidor Sentulan: Jejak Warisan Prajurit Diponegoro
Oleh: Koko Hari Pramono*

ASAL-usul kesenian tradisional "Jidor Sentulan" pertama kali muncul pada kisaran tahun 1830-1840. Konon, kesenian ini dibawa oleh salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro pada saat Perang Diponegoro telah berhasil dipadamkan oleh Kompeni. Sekitar tahun 1830. Terbilang banyak prajurit Diponegoro yang tercerai-berai hingga berkelana ke daerah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ada kemungkinan salah satu atau beberapa dari prajurit Diponegoro tersebut sempat tinggal atau menetap di Dusun Sentulan atau Desa Bongkot, di mana jenis kesenian ini tumbuh di sini. Dan, seiring bergulirnya waktu, kesenian ini terus bergerak dan sangat digandrungi masyarakat di sekitarnya.

Keunikan kesenian Jidor Sentulan adalah pada penampilan prosesinya. Terdapat juga upacara ritual yang merupakan unsur perpaduan antara Islam dan Dinamisme. Karena pertunjukan ini dibalut oleh unsur musik yang mengusung irama terbang jidor dan dibarengi dengan lantunan suara yang mendengungkan nada salawat.

Pertunjukan ini juga dihiasi dengan aroma wangi kemenyan, yang merupakan ritus transisi dari zaman Animisme ke kepercayaan agama Islam. Kesenian ini merupakan sebuah cermin dalam upaya melihat perkembangan Islamisasi.

Menurut cerita rakyat, Jidor Sentulan merupakan hadiah kepada mempelai yang akan menikah dan hendak masuk Islam. Selain itu, masyarakat juga menggelar kesenian ini untuk memeriahkan acara khitanan.

Jidor Sentulan memiliki keunikan dan cirik has dibanding kesenian lainnya, karena dalam kesenian ini terdapat drama rakyat yang tidak mempunyai judul cerita. Peraga utama di Jidor Sentulan adalah "jepaplok" yang digambarkan dalam bentuk harimau kumbang dengan pencitraan yang dikenal dengan sebutan "kumbang semendung".

Alkisah, cerita drama pertunjukan Jidor Sentulan berawal ketika Mbah Wiroguno sedang berburu binatang di hutan. Di tengah rimba itu dia menemukan anak harimau yang kemudian anak harimau itu diambil oleh Mbah Wiroguno dan diberi nama "Semendung". Hewan peliharaan itu dirawatnya sampai menjadi harimau dewasa.

Ragam alat musik dalam Jidor Sentulan terdiri dari 1 kendang, 3 terbang, dan 1 jidor. Prosesi penampilan jidor sentulan terdiri dari kumbang semendung yang diperagakan oleh 2 orang. Orang pertama memegang kepala si kumbang, sedangkan orang kedua memegang ekornya. Ditambah simbolisasi lainnya yakni kera. Menurut Pak Hartono, kenapa kera yang dimunculkan, hal itu disebabkan hewan ini lebih mudah untuk dicari. Secara pribadi ia ingin menggambarkan harimau itu sebagai raja hutan, dengan asesoris bebulu merak pada kumbang semendung.

Unsur magis sangat kuat dalam pertunjukan ini. Tidak jarang para pemain kesurupan atau ndadi, sebab dalam diri kumbang semendung terdapat makhluk halus sebagai penunggunya. Ketika kumbang semendung dibanting berarti pertunjukan telah usai. Harus ada ritual, sebelum memainkan kumbang semendung, tetapi kebanyakan orang yang memainkannya tidak melakukan ritual resmi dengan membawa kemenyan.

Ciri khas dari Jidor Sentulan adalah adanya unsur magis yang dibalut unsur Islam yang kental dalam bentuk terbangan dan shalawatan. Jidor sentulan dikatakan jaranan karena terpengaruh alat musik jidornya.

Tidak ada unsur tari asli dalam jenis kesenian ini. Gerak tari para pemainnya lebih mirip dengan gerak pencak silat. Seni ini hanya menggambarkan pertarungan antara kumbang semendung dengan pengembala. Menurut cerita, suatu ketika si macan tidak diberi makan oleh pemiliknya sehingga kelaparan yang pada akhirnya hendak mencaplok pemiliknya.

Lambang-lambang yang terdapat pada kesenian Jidor Sentulang melukiskan sebuah matarantai kehidupan manusia melalui para pemerannya: laki-laki dan perempuan, tua dan muda, besar dan kecil, gelap dan terang, dan siang dan malam. Sedang simbol angka tunggal atau eka bermakna bumi atau Tuhan. Pemilihan simbol angka lima mengacu pada kepercayaan tradisional Jawa, yakni keblat papat lima pancer yang berujud garis lingkaran abadi tanpa awal dan akhir yang mengacu kepada Sang Hyang Tunggal (Tuhan).

Kini, sejauh mana jenis kesenian ini berkembang, tentu khalayak umum jarang mendengar atau menanggap dan mengapresiasinya. Meski demikian, Pak Hartono, yang dilahirkan pada 1951 di Jombang, yang juga pernah berkuliah di STSI Surakarta, masih tetap mencintai dan melestarikan warisan prajurit Diponegoro ini. (Kiriman dari Koko Hari Pramono, Tim Pelestari dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang)

Seni-Budaya Jombang


Tandak Grobogan yang Terus Bergerak
Oleh: Jabbar Abdullah dan Fahrudin Nasrulloh*

SENI tandak adalah sejenis seni tari yang nyaris sama dari tari remo ludruk Jawa Timuran.. Demikianlah yang dipahami dan yang nyata terjadi dari seni tandak yang terdapat di Dusun Grobogan, Desa Grobogan, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang.

Menurut Lurah Grobogan Tar'is atau yang akrab dipanggil Pak Rois, dari sudut pandang kenyataan yang umum, tandak Grobogan berbeda dengan tayub. Di mana tayub atau dalam acara tayuban yang merupakan tanggapan dalam rangka hajatan biasanya kerap mengundang atau berdampak berbagai hal negatif. Seperti minum minuman keras, main perempuan, dan perjudian. Serangkaian tanggapan berbentuk hajatan ini seringkali berupa acara sunatan atau mantenan.. Sementara tandak tidak demikian. Setidaknya, itulah yang terjadi di Grobogan. Demikian pula jika order tandak Grobogan manggung di luar daerah mereka.

Secara lebih terinci, menurut petandak Darmiasih dan Tumaji (dalang), keahlian tandak mencakup penguasaan tari remo dan sinden. Sebenarnya profesi dan menjadi sinden adalah sebuah keahlian tersendiri yang membutuhkan intensitas dan penguasaan yang optimal. Sementara tandak merupakan tahap awal belajar untuk dapat menari dan menyinden. Singkatnya, kemampuan nyinden itu yang utama. Sedang sebutan tandak biasanya adalah bagi pemula. Anggapan umum menyebut bahwa setiap petandak bercita-cita untuk menjadi pesinden yang memiliki suara bagus, dan karenanya order yang diperolehnya kian banyak. ''Biasane lunturane tandak niku sinden (biasanya habis jadi tandak itu jadi sinden, Red),'' demikian ungkap Darmiasih dan dikuatkan Tumaji, suaminya.

Grobogan Kandange Seniman

Saat ini ada sekitar 20-an seniman tandak di Dusun Grobogan. Seniman tandak di dusun ini dimulai oleh Fatimah sebelum tahun 70-an. Ia belajar tandak dari berbagai daerah, semisal dari Pare. Tahun 76 penari tandak ini sudah tiada dan secara alami berkelanjutan muncul beberapa penari tandak dari Grobogan ini. Mereka adalah Khotimah (belajar dari pengremo bernama Marto), Sutrani (belajar dari Mbak Putik), Sampini, Darmiasih (istri dalang Tumaji), Suliarni (istri dalang Matius), Suliarsih, Suliarning, Ratna (putri dalang Sutikno), Susiati, Tini, Murlinah, Bu Elis, Sartimah, Mbak Putik (almarhum), Bu Wibi (almarhum), Bu Santuni (almarhum).

Tandak Mengikuti Tanggapan Wayang

Di Dusun Grobogan ini tidak hanya bercokol seniman tandak, namun juga para dalang seperti Tumaji, Suwadi, Matius, Sutikno, dan Teguh Ponco Saputro. Keberadaan sejumlah dalang ini sangat menentukan keberadaan tandak dalam memeroleh tanggapan. Sebab, bisa dikatakan, tanpa adanya tanggapan wayang dan orderan dari para dalang ini, seniman tandak tidak akan bergerak atau mungkin keberadaan mereka tidak berkembang. Jadi, tandak sangat bergantung pada mereka. Demikian juga dengan keberadaan satu grup Jaran Kepang Kuda Kelana (kini berganti nama menjadi Jaran Kepang Sriwijaya) menjadi sangat menentukan keberlangsungan tandak, karena order tanggapan mereka berkait-erat dengan grup jaranan ini.

Keterjalinan antara dalang dan grup jaran kepang cukup vital bagi seniman tandak. Jika dua hal ini bubar, atau surut keberadaannya, pastilah seniman tandak ini juga demikian. Maka petandak, tidaklah berdiri sendiri. Tapi dalang dan jaranan bisa ditanggap dan terus eksis, sementara tandak secara mandiri perseorangan tidak pernah ditanggap. Biasanya tanggapan tiga poin kesenian ini pada bulan Juni sampai Oktober. Dan yang paling ramai terjadi pada bulan Agustus. ''Kuwalahan nampani tanggapan, Mas,'' ujar dalang Tumaji. ''Lha nek pun rendeng ngeten ngge tandak niku njagakno sing lanang," tambah Darmiasih.

Kampung Grobogan ini bisa dijadikan situs yang bergerak dengan 3 pokok kesenian tersebut. Pengembangan dan pembinaan sangatlah diperlukan. Jika ada sebutan "desa wisata", Grobogan dapat dijadikan contoh sebagai "dusun kesenian". Observasi ini perlu dikembangkan lagi.

* Jabbar Abdullah dan Fahrudin Nasrulloh, Tim Pelestari dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang.

Jumat, 03 April 2009

Esai

Buku Puisi versus Buku Cerpen

Fahrudin Nasrulloh*

Pada awalnya sejarah sastra kita adalah puisi. Dimulai dari pantun hingga puisi lama yang dapat disusuri lewat puisi-puisi Amir Hamzah. Selanjutnya berkembang di masa Chairil Anwar pada era 45. Kemudian gebrakan Sutardji Calzoum Bachri dengan membebaskan makna dari beban kata pada 1970-an dan Afrizal Malna pada 80-an dengan “puisi gelap”nya. Namun kini tampaknya belum ada gebrakan yang cukup mengejutkan dari perkembangan puisi terbaru kita. Meski gebyar kegiatan perpuisian terus digelar, semisal yang teranyar diselenggarakan di Kediri (26 Juni - 2 Juli 2008) dengan bendera: Pesta Penyair Nusantara 2008, yang menghadirkan D. Zawawi Imron, Ahmadun Y. Herfanda, Dato’ Kemala (Malaysia), Diah Hadaning, Kuspriyanto Namma, dan lain-lain. Hajatan akbar semacam ini kerap memancing polemik dan kasak-kusuk, seperti pada Anugerah Pena Kencana yang menggunakan polling sms bagi para penyair dan cerpenis yang kelak dinobatkan menjadi juara pada penganugerahan tersebut.

Di sisi lain, fenomena yang cukup membanggakan akhir-akhir ini ketika di hampir setiap tahun kita menyimak banyak penulis puisi bermekaran bak jamur di musim hujan. Sebagian karya-karya mereka bertebaran di sejumlah media lokal maupun nasional. Maka di kemudian waktu banyak pula dari mereka yang berontokan tak berkarya lagi sebab persaingan yang demikian ketat dan kuatnya tembok besi media massa. Sebab mutu puisi dan koneksilah yang jadi tolok ukurnya.

Alangkah saat ini banyak penulis puisi yang merasa hebat dengan puisi-puisi mereka. Tapi hanya segelintir yang benar-benar pantas disebut penyair. Lantaran demikian, media internet akhirnya menjadi salah satu alternatif bagi penulis puisi yang tak mendapatkan “tempat” itu. Lepas dari beragam asumsi di atas, tentu, fenomena ini menunjukkan “dimensi kreasi” yang patut dicatat. Bahwa geliat kreatifitas kepenulisan puisi di negeri ini layak mendapatkan porsi apresiasi yang akomodatif dan bermartabat.

Terkait dengan mutu karya, suatu saat, Ragil Suwarno Pragolapati dalam antologi puisi berumbul Genderang Kurukasetra (diterbitkan oleh FPBS-IKIP Muhammadiyah Yogyakarta, 1986) mengatakan, “Membuat sajak itu mudah. Bikin puisi beginian dapat saya lakukan sambil kencing! Sekali bikin jadi empat puluh puisi!” Ledekan pedas ini pernah ia sampaikan pada kurun 1971-1975, dalam beberapa diskusi Persada Studi Klub di Malioboro, Margayasan, Tegalmulya, Ngawangga, dan lain-lain. Sindiran itu sekaligus merespon karya Arswendo Atmowiloto Mengarang Itu Gampang (PT. Gramedia, 1982, Jakarta).

Di samping itu, realita ironis yang menonjol sekarang dari sejumlah penerbit yang menerbitkan buku puisi telah menunjukkan bahwa penjualan buku puisi terbilang cukup “pahit” bahkan mengenaskan. Buktinya, salah seorang pemilik sebuah penerbit di Yogyakarta pernah mengatakan kepada saya bahwa menerbitkan buku puisi itu semata demi “sedekah” untuk kelanggengan dan “keselamatan” penerbitnya. Juga bahwa menerbitkan buku puisi tak lain atas nama perkoncoan, misalnya, dengan biaya dari si penulis yang bersangkutan atau ongkos produksi ditanggung bareng. Sungguh tragis. Tapi nyata terjadi. Tak ada untungnya menerbitkan buku puisi, bahkan kerap merugi, imbuhnya.

Karena itu, mungkin hanya penerbit kelas kakap dan bermodal besar yang sudi-berani menerbitkan buku puisi. Penerbit-penerbit “alternatif” di Yogyakarta yang, konon bercacah 500-an itu, akan berpikir seribu kali untuk menerbitkan buku puisi. Selama ini, nyaris tidak ada buku puisi yang meledak di pasaran. Dan bila disimak-teliti, buku-buku puisi hanya diterbitkan oleh sejumlah penerbit yang memiliki apresiasi dan dana besar terhadap sastra. Semisal penerbit Grasindo (lini penerbit Gramedia Group), yang terhitung intens menerbitkan buku antologi puisi. Itu pun, karena penyairnya telah berproses kreatif cukup panjang dan diakui kualitas karyanya. Justru fenomena yang mengemuka saat ini adalah penerbitan buku antologi cerpen. Masa prosa kini mengalami perkembangan yang cukup berarti dan menjanjikan bagi cerpenis ketimbang penyair. Era penyair sejak angkatan 45 hingga angkatan 90-an telah menunjukkan masa yang lebih kondusif dibanding masa sekarang.

Menurut Maman S. Mahayana dalam Bermain dengan Cerpen (Gramedia: Jakarta, 2006), bahwa “Inflasi antologi puisi yang cenderung asal terbit, tanpa seleksi, boleh jadi merupakan pemicu yang mendongkrak popularitas cerpen dalam konstelasi peta kesusastraan Indonesia abad ke 21.” Jelas kini penulis cerpen lebih dihargai posisi tawarnya dibanding penulis puisi. Pun honorariumnya. Di sisi lain, pemantik ini dapat ditengarai lewat Jurnal Puisi yang dipandegani Sapardi dan Jeihan yang memang sudah lama tidak terbit lagi. Sedang Jurnal Cerpen yang digawangi Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua masih terus berjalan dan semakin lebih mantap. Bahkan setiap dua tahun sekali mereka mengadakan Kongres Cerpen mulai dari yang diselenggarakan di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), Pekanbaru (2005), dan Banjarmasin (2007). Ditambah lagi kontribusi dan greget penerbit Kompas sejak beberapa tahun silam yang kemudian di setiap tahunnya menerbitkan buku kumpulan Cerpen Pilihan Kompas yang monumental itu dan kelak bakal dijadikan catatan penting dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia.

Kiranya dapatlah diprediksi untuk sekian tahun ke depan bahwa cerpen masih menjadi catatan penting dalam “arus besar” peta kesusastraan kita ketimbang puisi dan novel. Meski dinamika ini tak juga melahirkan kritikus sastra yang berbobot. Di luar itu, tidaklah bisa diabaikan dedikasi dari sejumlah media koran (di samping jurnal seni, tabloid, dan majalah sastra) di negeri ini yang pada saban kalanya menerbitkan cerpen (juga puisi). Seiring dengan itu, buku antologi puisi dan antologi cerpen pun terus beterbitan dengan segala pernak-pernik riwayatnya. Kedua buku jenis ini hampir bukan buku yang laris-manis. Lain dari buku-buku bertema seperti Tuntunan Shalat, Yasin-Tahlil, atau Seni Seks Islami, yang pasti ludes-abis di pasar. Sebaliknya, buku puisi dan dan buku cerpen terkadang saban pameran buku di mana pun diobral mulai dari 3000 sampai 10.000 rupiah. Saya tidak tahu fenomena apa yang mengarus-miris di dalamnya. Dan, nun jauh dari fakta ironik tersebut, tidakkah buku-buku itu pada akhirnya hanyalah barang “klangenan” atau “tetirah sunyi” bagi pengarangnya?

-----

*Fahrudin Nasrulloh, Pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

Rebung Lembah Pring

Siswa SD Bangkitkan Guritan
| Kamis 21/08/2008
13:32:34
|

Sumber:http://surabayapos.co.id

Jombang – Surabaya Post

Banyak cara memperingati HUT RI ke-63 tahun ini. Salah satunya lewat lomba baca puisi tingkat Sekolah Dasar (SD) di Jombang. Ajang sastra di Pendapa UPTD Pendidikan Kecamatan Jombang, Selasa (19/8) diikuti 57 peserta dari 60 SD. Puisi yang yang dipilihkan panitia cukup unik dan menggugah, yaitu Tak Kutemukan Purnama di Surabaya karya M. Tauhed Supratman, Jangan Menangis Indonesia (Akhudiat), Getih Nang Treteg (Trinil), dan Karnaval (gubahan Aming Amineoddin). Dewan juri terdiri dari Fahrudin Nasrulloh (penyair dan cerpenis), Nanda Sukmana (Dosen Prodi Pendidikan Sastra dan Bahasa STKIP Jombang), dan Jabbar Abdullah (Lurah Komunitas Lembah Pring).

Lomba baca puisi ini, juara pertama dimenangkan Alfia Arindita dari SDN Jombatan 3 dengan membawakan puisi Getih Nang Treteg. Inilah bait pertama -- yang membakar semangat atas kepahlawanan arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945 itu. Juara II dimenangkan Elsa Khoirun Nisa (SDN Jombatan 3) dan juara III diraih Indana Rizqiya ( SDN Tambakrejo I).

Dalam evaluasi, tim juri menyampaikan beberapa catatan. Untuk memantik kreativitas, kegiatan berikutnya perlu digagas bahwa siswa yang mengikuti lomba bisa menampilkan karya puisinya sendiri. Diharapkan mereka memiliki keberanian untuk tampil dan mengungkapkan kejujuran dalam kreativitasnya.

Ajang semacam ini, kata sekretaris panitia lomba B. Sulisdianto, selain untuk menyemarakkan HUT RI ke 63 juga diharapkan diharapkan dapat menunjang kegiatan Porseni mendatang. Sementara menurut Imam Ghazali, Seksi Kesenian UPDT, pengenalan terhadap siswa akan bahasa dan sastra Jawa yang selama bisa dikatakan terabaikan.

“Makanya kami sodorkan pilihan puisi berbahasa Jawa atau guritan, selain yang berbahasa Indonesia.

Ternyata, apresiasi dari peserta, pada saat pembacaan puisi bahasa Jawa dan Indonesia, nyaris sebanding. Karena itu, dengan kegiatan ini diharapkan dapat menggelorakan dan mencintai tradisi membaca dan menulis puisi Jawa atau guritan. “Sepertinya ini penting dan mendesak untuk ditindaklanjuti,” jelas Imam Ghozali.(gim)

Cerpenku

Cerpen Jabbar Abdullah


Secangkir Kisah di Warkop Santren

Suara bising mobil, bus, dan sepeda motor seakan menjadi lagu wajib yang sering mengiringi para pecandu kafein di warkop Santren. Pun teriakan para calo yang sejak subuh nggelibet di trotoar mengamati bis-bis jurusan Surabaya. Para calo ini memeroleh 1000 atau 500 rupiah per penumpang dari kondektur. Gemuruh riuh keseharian demikian bak playlist dalam winamp komputer yang kerap ngancani dan menghiburku ketimbang nada-nada setan di rumah jahanamku.

***

Boyo… boyo… boyo…,” teriak Robert dan Marwan saat bis Sumber Kencono berhenti di pertigaan pasar Brangkal.

Robert dan Marwan ibarat bebunga trotoar di tepi jalan. Keduanya adalah sahabat karib. Saban hari mereka mangkal di depan warkopku. Selain nyalo, mereka juga pengamen dan pengasong. Kondisi ekonomi keluarga yang tak menentu menjadi alasan kuat ketika mereka memutuskan menempuh jalan itu.

Meskipun bernada suara fals, Marwan tetap enjoy menghibur penumpang bus meski sebagian dari mereka tidur dengan lagu-lagu bajakan beriring petikan gitar yang dibelinya dari pegadaian hasil jerih payahnya menabung. Kompilasi lagu Iwan Fals kebanyakan bertema kritik sosial, semacam Bongkar, Bento, Guru Oemar Bakrie, Orang Pinggiran dan Terminal lebih dipilihnya sebagai tembang keseharian ketimbang lagu-lagu anak band “karbitan” yang cengeng dan bertema cinta melulu. Rentetan bus yang berseliweran dijadikan panggung oleh Marwan untuk beraksi. Sejak kutanggalkan atributku sebagai penjual kopi, aku tak lagi menyaksikan aksi-aksinya di jalanan atau kepiawaiannya memetik senar gitar hingga menjadi alunan lagu yang terasa nikmat didengar. Warta terakhir yang hinggap di kupingku, tepatnya semenjak bapaknya mati akibat serangan jantung, dia menggeluti belantara dunia kriminal bersama teman lawasnya saat masih menjadi pengamen terminalan yang bermuara dengan meringkuk di balik jeruji akibat delik curanmor yang dilakukannya di luar kota akhir Desember lalu.

Sementara di tempat lain, Robert juga melakoni perannya yang lain dengan istiqamah sebagai pedagang asongan spesialis soft drink. Nasibnya tak jauh beda dengan karibnya Marwan. Bedanya, meski kekangan kondisi ekonomi yang tak kunjung berubah, tidak sekalipun terbersit dalam benaknya untuk melangsungkan tindakan kriminal seperti yang dilakukan Marwan. Di mataku, Robert bukanlah sosok yang mudah frustasi kala digempur cobaan meski modal pengetahuan agamanya nihil dan masih hobi kencing di pojok pasar. Dia masih lebih baik dibanding orang-orang yang ber-amar makruf nahi munkar dengan menjadikan agama sebagai masker dan menjual ayat-ayat Tuhannya demi meraup duniawi yang dibungkus dengan basa-basi dan iming-iming surga di atas mimbar. Bukankah mereka tahu bahwa kemarahan terbesar Tuhan adalah kepada orang-orang yang suka berkoar-koar tapi tak pernah memanifestasikannya dalam perbuatan nyata. Ah, sudahlah. Ngapain juga aku mikirin aksi “mafia-mafia agama” itu. Mending mikir hidupku yang monoton dan masih absurd ini.

***

Suatu hari, saat aku masih aktif sebagai penjual kopi, sepulang menjajakan soft drinknya Robert menghampiriku yang sedang asik membaca rubrik olahraga di koran Jawa Pos.


“Bar. Aku ingin sembahyang. Kira-kira kamu punya sarung dan sajadah lebih tidak?” Tanya Robert padaku sembari mengusap peluh di dahinya.

“Tumben banget dia bertanya seperti itu.” bisik hatiku mendengar pertanyaan langka dari seorang Robert.

“Insya Allah, besok tak bawakan. Yang penting kamu sungguh-sungguh dengan niatmu”. Jawabku.

Satu tanya perihal alasan bagaimana Robert mampu sampai pada tingkat kesadaran untuk kembali meniti sirath al-mustaqim hingga saat ini belum terjawab. Wallahu a’lam.

***

Selain berjualan kopi, aktifitasku yang lain adalah jangopji (jagongan, ngopi dan ngaji). Saat tak berjualan aku seringkali jagongan ke toko kain Bang Yon yang berdiri gagah di seberang warkopku. Konon, sebelum mendirikan toko kain Bang Yon pernah keblubuk dan terseret bujukan perek. Dalam sebagian sejarah hidupnya, “dunia daging” (sebutanku untuk PSK) memang nyaris selalu digelutinya, begitu pengakuannya saat ngobrol-ngobrol di tokonya. Bangunan rumah tangganya luluh lantak lantaran isterinya konangan sedang bercumbuan dengan Wak Kaji di bibir sungai Brantas saat dia melintas hendak mampir ke rumahku. Syahdan, tanpa muqaddimah, lelaki yang sedang mencumbu istrinya itu dipermak dengan bogeman bertubi-tubi hingga terselungkup dan terkapar di jalan. Usut punya usut, ternyata lelaki yang membandang istrinya itu adalah seorang ustadz. Sejak peristiwa aib itu Bang Yon yang terkenal tangguh, mendadak oleng bak mobil yang remnya blong dan selinglung pasien rumah sakit jiwa di mana nyaris waktunya dihabiskan dengan menggeluti “dunia daging”, menenggak alkohol dan nogel. Ironis sekali.

Bang Yon adalah pelanggan tetapku saat warkopku masih aktif. Karena warkopku sistemnya non stop, dia seringkali mampir pada jam tengah malam atau jelang subuh. Bila warungku sepi pengunjung dia mengajakku sharing perihal kehidupannya yang carut marut. Di sela-sela aku menyimak rentetan cerita tragedi rumah tangganya, terbersit dalam benakku untuk memberikan solusi atas ketidakmampuannya menjawab problematika hidup yang menghinggapinya. Aku teringat wejangan pamanku yang mengatakan bahwa jawaban atas persoalan hidup kadangkala terjawab saat kita masih hidup dan kerugian sekaligus kecelakaanlah bagi mereka yang menemukan jawabannya setelah ia mati. Sekali lagi, ironis.

Rasa sungkan yang menghalangiku untuk memberi solusi pada Bang Yon tidak membuatku berhenti untuk membantunya keluar dari kubangan kemaksiatan yang dalam pandangan agama sudah kelewat batas. Aku meminjaminya sebuah buku berlambar “La Tahzan” karya ‘Aidh al-Qarni. Dalam buku itu kuselipkan sebuah surat yang berbunyi:


Dari Kawanmu Jabbar :

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Sesungguhnya ketika Allah menimpakan ujian dan cobaan dalam segala bentuknya tidak akan melebihi kemampuan hamba-Nya. Itu adalah janji-Nya. Ikhtiar, sabar dan tawakkal ‘alallah. Yakinlah bahwa tidak ada tanya yang tidak berjawab dan tak satupun hal di dunia ini terjadi dengan sia-sia. Setiap kisah selalu berhikmah. Semoga buku ini bermanfaat. Oh iya, jangan lupa shalat dan ngaji.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb


Buku dan sepucuk surat itu kutitipkan kepada Cak Koreng kawan karibnya yang berprofesi montir dan tinggal seatap dengan Bang Yon sekaligus menjadi perpisahan, karena dua hari setelah pemberian buku itu aku tidak lagi melayani para penggila kafein.

***

Keintimanku bergaul dengan Robert, Marwan, Bang Yon dan Cak Koreng berawal ketika aku yang mandul dalam mencari kerja membuka warkop yang kunamakan Warkop Santren. Keputusanku mencari rupiah dari warung berakar dari “semprotan” Lek Nang yang prihatin atas luntang-lantungnya hidupku pasca kedua orang tuaku dipungut-Nya. Ya, Lek Nang seakan menjadi perantara-Nya untuk mengentasku dari adh-dhulumat ila an-nur (dari kegelapan menuju cahaya yang benderang). Di sela-sela aktivitas kesehariannya sebagai pengasuh di sebuah panti asuhan, dia berkenan menyempatkan diri mencurahkan perhatian dan waktunya untukku hingga pada saatnya nanti aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.

“Jab. Sudah saatnya kamu harus membangun prinsip hidup, tidak ada waktu untuk bermain-main lagi. Di manapun nanti kamu menghabiskan waktu dan melangsungkan lakon hidupmu, ingatlah, kamu harus bisa menjaga dan menempatkan diri. Sadar dirilah, bahwa dalam hidup itu ada rambu-rambunya. Ingat juga, bahwa dalam setiap pilihan selalu ada resiko, siap atau tidak siap, kamu harus bertanggung jawab. Hidup membutuhkan keberanian. Banyaknya orang-orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara tidak wajar karena mereka tidak memiliki keberanian untuk hidup. Terus jangan lupa, segala yang telah kamu capai tidak lepas dari campur tangan-Nya, untuk itu pandai-pandailah bersyukur. Allah berjanji, jika kita pandai bersyukur maka akan diberi tambahan nikmat (la-azidannakum) dan jika kita mengingkari nikmat-Nya, maka inna `adzabi lasyadiid (sesungguhnya siksa-Ku amat pedih). Satu lagi, sholat dan mengajilah. Wis, berangkatlah dengan bismillah..” Begitu pesan-pesan taqwa Lek Nang padaku.

Sepintas, wejangan Lek Nang itu juga mengingatkanku pada petikan nasehat almarhum Bapakku, “Jadilah orang pintar tapi yang benar. Kaya itu tidak terbatas pada harta, tapi lebih kepada hati. Percuma kaya harta tapi hatimu miskin. Terus, ittaqillaha haitsuma kunta wa atbi’is sayyiatal hasanah. Tamhuha wa khaliqin-nas bi khuluqin hasan (Bertaqwalah kepada-Nya di manapun kamu berada. Dan pergaulilah manusia itu dengan akhlak yang baik)”.

Aku jadikan nasehat-nasehat itu sebagai bekal untuk menapaki terjalnya jalan kehidupan. Aku malu terus-menerus menjadi benalu yang kerap menjadi beban dan senantiasa merugikan. Berhenti berarti mati. Aku akan membangun dan memaknai dunia yang sudah kupilih.

Tekad dan pesan-pesan taqwa itu akan terus bergemuruh mengiringi gerilyaku. Satu hal yang tak menyisakan sesal saat aku memutuskan pilihan berjualan kopi adalah dibentangkan-Nya pelangi-pelangi kisah untukku yang dipertemukan dengan “orang-orang pilihan” pasca berhenti dari warkop. Selaksa kisah itu telah meninggalkan jejak tak terhapuskan. Pertemuanku itu pula yang membuatku semakin dewasa dalam melakoni ibadah dan hidup. Kepada mereka, di puncak muhasabah aku bermunajat kepada-Nya semoga mereka kelak termasuk ke dalam rombongan orang-orang yang diberi nikmat dalam jannatun na’im dan bukan orang-orang yang dimurkai. Amin.

Oret-oret

Penantian

(Untuk Sebuah Nama)


Seraut wajah berparas cinta

Di pelupuk malam

Berjibaku dengan rindu

Tanpa kesah menunggu


Selaksa tanya selimuti dada

Di manakah dia?

Merasakah dia?

Tanpa tanda meniada


Waktu deras melaju

Masih saja dia menunggu

Sang kasih tak jua berlabuh

Sungguh…

Penantian ini hanya untuk luka

Workshop Cerpen


Bertemu Keluarga Cerpen di SMPN 2 Jombang

Oleh: Jabbar Abdullah

(Pegiat Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto)

Apa itu cerpen? Apa yang membuat seseorang menulis cerpen? Siapa yang membutuhkan cerpen?

Paling tidak untuk saat itu (Selasa, 3/2), tiga pertanyaan di atas telah menyelimuti selaput pikiran para Guru MGMP Bahasa Indonesia se-Kabupaten Jombang ketika mengikuti workshop kepenulisan cerpen di ruang perpustakaan SMPN 2 Jombang yang di moderatori MS Nugroho, guru setempat.

Fahrudin Nasrullah, selaku nara sumber workshop kepenulisan cerpen mengawali acara sesi pertama dengan menyampaikan curriculum vitae-nya secara singkat, khususnya tentang proses kreatifnya di dunia kecerpenan. “Proses kreatif tidak boleh berhenti”, tegas Fahrudin yang juga founding father komunitas sastra Lembah Pring Jombang.

Setelah bertutur ngalor-ngidul soal proses kreatif, Fahrudin meneruskan pembahasannya ke wilayah sastra. Tentang materi sastra ini, ada pertanyaan sederhana dari Fahrudin yang tertuju kepada seluruh Guru MGMP Bahasa Indonesia yang hadir saat itu, yakni apakah selama kegiatan belajar mengajar (KBM) Bahasa Indonesia di sekolah, sastra hanya dijadikan “tempelan” saja?

Mendengar pertanyaan tersebut, semua guru hanya bergeming. Berangkat dari pertanyaan itulah kemudian Fahrudin mengurai dan membumikan kesusteraan di benak para Guru MGMP Bahasa Indonesia dengan menyodorkan beberapa pengalaman dari para sastrawan dan penulis-penulis yang serius menerjuni dunia kepenulisan umumnya dan sastra (cerpen) khususnya. Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis, “Kambing” karya Joni Ariadinata, Atau “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” karya Kuntowijoyo adalah sebuah perlawanan terhadap kebekuan realitas yang selama ini hanya melayap-layap dalam ingatan dan kesadaran semu kita. “Pada dasarnya, semua bentuk tulisan (Cerpen, Puisi, Novel dan Esai) adalah bentuk sebuah “perlawanan”, pungkas Fahrudin, yang hobi berburu buku-buku dan naskah-naskah kuno (lawas) ini.

Menginjak sesi kedua diadakan dialog interaktif. Ada dua pertanyaan menarik dalam sesi dialog interaktif ini yang selama ini menjadi kegelisahan sebagian besar guru Bahasa Indonesia. Pertanyaan pertama dilontarkan oleh Ibu Puspita, guru Bahasa Indonesia SMPN 3 Mojowarno, “Menurut anda, cerpen yang baik itu bagaimana?”

Pertanyaan selanjutnya datang dari Ibu Tutik, “Bagaimana cara menumbuh-kembangkan minat menulis kepada siswa?”

Menjawab pertanyaan pertama, Fahrudin menjabarkan, hal terpokok dari cerpen adalah “bagaimana menghadirkan cerita” atau “cara bercerita”. Cerpen ibarat sebuah rumah kecil di mana setiap sisi arsitektural dan bahan-bahannya sangatlah diperlukan dan diperhatikan untuk menopang berdirinya sebuah rumah tersebut. “Umumnya, cerpen yang baik terdiri dari plot (alur), konflik, membangun karakter tokoh yang kuat dan tidak samar, dan mendetailkan seting (latar). Pendek ungkap, cerpen adalah sebuah jalinan cerita yang diikhtiarkan bahwa sebuah cerpen musti dapat “melekat kuat dalam ingatan pembaca””, urai Fahrudin singkat.

Untuk pertanyaan dari Bu Tutik, Fahrudin memberikan empat ancangan umum untuk menumbuhkan spirit menulis. Pertama, Sodorkan 1 cerpen kepada siswa untuk dibaca bersama. Pilih yang ringan. Pilih 1 siswa yang berminat membacanya. Lalu lontarkan tanya-jawab semisal siapa pengarangnya, judul cerpennya, dan bagaimana jalan ceritanya. Kedua, secara kontinyu poin di atas dipraktekkan dalam 3 kali pertemuan sembari disarankan kepada siswa untuk membuat 1 cerpen: cukup 2 kalimat atau 2 paragraf saja (atau lebih jika mereka mampu). Ketiga, setiap siswa, setelah menyerahkan hasil cerpennya, diminta bagi yang berminat untuk membacakan karya cerpennya di depan kelas. Keempat, disarankan pada 47 guru bahasa Indonesia dalam MGMP se-Jombang ini untuk mengarang 1 cerpen lalu dikumpulkan, dicetak, dan dibagi ke seluruh siswa-siswanya. Tujuannya agar para siswa bisa meneladani dan tersemangati untuk menulis cerpen.

Pada pengujung acara, cerpenis yang tulisannya sudah banyak tersebar di beberapa media massa ini menutup acara workshop dengan mengutip ungkapan Temujin dari tlatah Mongol, “Lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan.”

Seni Musik


Girilaja, Antara Berkesenian dan Keprihatinan


Oleh : Jabbar Abdullah (Pegiat Komunitas Sastra Lembah PringBiro Mojokerto)


Bermain musik sampai “mabuk”, bukan mabuk saat bermain musik”.

(Motto Komunitas Musik Girilaja)

Mas Er, begitulah panggilan akrabnya. Sederhana, bersahaja dan selalu saja “gelisah”. Tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya Mas Er ini. Di muka umum, mungkin orang akan menganggap dia bukan siapa-siapa. Tapi ketika kita “mampu” menyentuh hatinya dan mengajaknya untuk ngobrol tentang ranah kesenian di Kota Mojokerto, maka kita akan dibuatnya geleng-geleng. Bagaimana tidak, ternyata dia bak “bank data” ketika diajak mengobrolkan perihal peta kesenian di Kota Mojokerto. Satu kelebihan yang tidak bisa diabaikan adalah kreatifitasnya dalam berkesenian, terutama soal musik akustik.

Nama lengkapnya Erwan Affandianto. Menapakkan kakinya di dunia kesenian (musik) sejak masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Hampir tiga puluh tahun dia “riwa-riwi” di jagad kesenian. “Yang menyebabkan saya tetap ajeg dalam berkesenian (musik) karena saya melakukan semua itu dengan “senang””, kata pria kelahiran Mojokerto 17 Oktober 1962 ini.

Perjalanannya mengarungi jagad kesenian cukup menarik untuk disimak. Kegelisahannya yang paling “akut” adalah ingin merubah “wajah” pola berkesenian di Kota Mojokerto. Menurutnya, kesenian di Kota Mojokerto “kurang” perhatian. Berangkat dari sinilah, lantas dia merintis jalan untuk membentuk komunitas musik. Terbentuknya Komunitas musik Girilaja tidak bisa dilepaskan dari riwayatnya yang panjang dan berliku. Ada tiga fase penting yang merupakan mata rantai terbentuknya komunitas musik Girilaja saat ini.

Anak Rakyat-1

Ide mendirikan komunitas musik sudah sejak lama berlelayapan di benak Mas Er. Tapi semua itu hanya “ide” sampai bertemu dengan Setyo Wacono pada tahun 1978 yang “berbaik hati” menampung ide sekaligus memfasilitasi semua kebutuhan Mas Er saat secara resmi komunitas musik itu terbentuk dan di beri nama “Anak Rakyat”. Tempat latihan Anak Rakyat waktu itu di salah satu rumah studio di Jl. Gajahmada (di bawah jembatan layang). Sementara warung tempat mereka mengisi perut berada di lokasi sekitar pemandian Sekarsari (perempatan Jl. Empunala). Anggota Anak Rakyat berjumlah 8 orang yang kesemuanya adalah pengamen jalanan, termasuk Mas Er sendiri.

Unik tapi nyata. Begitulah kiranya sebutan yang pas untuk Anak Rakyat yang waktu itu karena belum ada percontohan komunitas musik yang memadukan alat musik gamelan (gong, kendang dll) dengan alat musik modern semacam gitar dan harmonika. Diakui atau tidak, dari perpaduan tersebut ternyata mampu melahirkan irama musik (bahkan jenis aliran musik baru) yang menarik dan layak untuk didengar oleh mereka yang benar-benar “mengerti” musik. “Kalau bicara soal aliran musik, permainan musik kami lebih condong kepada aliran musik country. Tapi saya lebih senang menyebutnya dengan kontemporeran”, jelas Mas Er.

Kucuran keringat dan kesungguhan Anak Rakyat dalam berkesenian musik akhirnya berbuah manis. Tiap kali ada festival atau lomba bermain musik, mereka selalu mendapat juara. Salah satunya saat menjadi Juara II Festival Musik Volk Song di Gedung Nasional (kini GOR Majapahit) di Jl. Gajahmada 149 kota Mojokerto. Peristiwa yang tak terlupakan bagi Anak Rakyat saat itu (tahun 1980-an) adalah ketika diundang oleh stasiun televisi nasional TVRI Surabaya untuk bermain musik bersama dengan kelompok musik “Triple S” asal Kota Jember.

Anak Rakyat-2

Anak Rakyat sempat mengalami “masa tenggang” dan akhirnya bubar karena beberapa personilnya mengundurkan diri. Namun Mas Er tak patah semangat. Perlahan-lahan dia kembali bangkit dengan tetap mengajak rekan-rekannya sesama pengamen jalanan untuk membentuk komunitas musik baru. Dengan jumlah anggota yang sama pula, terbentuklah “Anak Rakyat-2”.

Mungkin tidak banyak yang tahu kalau Kota Mojokerto memiliki ahli karawitan dari keturunan Tionghoa, namanya Om Jang. Dari orang Tionghoa inilah, para personil Anak Rakyat-2 banyak sinau (belajar) karawitan. Mas Er menyebutkan, dulu rumah Om Jang terletak di Jl. Mojopahit (kisaran 3 rumah/ toko sebelah utara toko buku Hasan bin Syeban). “Kami berhutang budi terhadap Om Jing. Beliau banyak meluangkan waktunya untuk melatih kami karawitan. Beliau paling pinter kalau memainkan alat musik kendang”, kenang Mas Er.

Kurang lebih enam bulan lamanya Anak Rakyat-2 sinau karawitan kepada Om Jing, dan dalam rentang waktu itu pula di Kota Mojokerto vacuum lomba.

Anak Rakyat-3

Setiap komunitas (apapun itu) selalu akan mengalami pasang-surut. Hal yang sama terjadi pada komunitas musik Anak Rakyat. Usia Anak Rakyat-2 juga tidak begitu lama. Sempat bubar dengan sebab yang sama pula ketika terbentunya Anak Rakyat-1. Kelahiran Anak Rakyat-3 berawal dari “kekangenan” personil Anak Rakyat-2 untuk kembali bermain musik bersama-sama. Sekitar tahun 1989-an, Anak Rakyat-3 pernah mengikuti Lomba Volk Song yang bertema “Panggalian Seni Budaya Asli Majapahit” yang diselenggarakan oleh BP7. “Yang saya ingat, waktu itu sempat dipertunjukkan salah satu tarian asli Majapahit, itupun mendatangkan guru tari wanita dari Malang”, ungkap Mas Er, suami Minarsih ini.

Pada tahun yang sama, Anak Rakyat-3 mendapatkan kesempatan mewakili Kota Mojokerto mengikuti Festival Kesenian Jawa Timur di Surabaya. Namun tidak jadi, karena ada kelompok musik lain yang ngotot untuk ikut, sementara dana yang dialokasikan tidak mencukupi untuk “menghidupi” dua kelompok musik yang akan diberangkatkan ke Surabaya. Akhirnya dengan legowo Mas Er mengundurkan diri dan melepas kesempatan emas untuk berekspresi di tingkat Jatim. Di samping aktif di Anak Rakyat -3, Mas Er bersama Saipul Bakri (Penyair Buruh), sempat membentuk Komunitas Musik Buruh. Kegiatan latihan mereka di Gedung Saraswati, Jl. Hayam Wuruk Kota Mojokerto.

Kelahiran Girilaja

Setelah Anak Rakyat 1, 2 dan 3 mengalami stagnasi, Mas Er memutuskan untuk “cuti” bermusik. Di samping bermusik, untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, Mas Er pernah bekerja sebagai penunggu foto copy di PT. Telkom Jl. A. Yani dengan gaji Rp. 30.000 per/bulan. Ia juga pernah bekerja sebagai cleaning service di PT. Telkom Jl. Empunala dengan gaji Rp. 111.000 per/bulan. Suatu kali istrinya pernah memintanya untuk berhenti sama sekali berkesenian. Alasannya karena tidak ada yang diharapkan dari berkesenian, terlebih untuk mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Akhirnya Mas Er mampu memberikan pengertian terhadap istrinya, bahwa dalam berkesenian bukan cuma uang semata yang dicari. Lebih dari itu, dunia kesenian baginya adalah suatu “kesenangan” lain yang mampu memberikan “kepuasan” tersendiri bagi pelakunya ketika berkesenian itu tidak dilakukan dengan main-main.

Gagasan untuk kembali aktif di dunia komunitas musik muncul ketika secara tidak sengaja ada sekelompok pemuda di kampungnya yamng kerap pinjam gitar untuk mengamen di jalanan. Mas Er merasa prihatin melihat pemuda di kampungnya yang ngamen di jalanan yang kurang bisa menghargai hasil keringatnya sendiri. Hasil dari ngamen itu menjadi musproh saat dirupakan sebotol minuman keras. Berangkat dari keprihatinan itulah, Mas Er kemudian menawarkan kepada pengamen jalanan itu untuk membentuk komunitas musik. “Alhamdulillah. Dengan adanya kegiatan bermusik ini, perlahan-lahan anggota saya mampu meninggalkan kebiasaan negatif mereka. Sebelumnya mereka juga saya bai'at untuk tidak main-main dalam berkesenian”, ujar bapak tiga anak ini. Sementara untuk tempat latihan, Mas Er lantas meminta tolong kepada kawannya, Saipul Bakri (Biro Sastra Dewan Kesenian Kota Mojokerto), agar diupayakan untuk kiranya dapat meminjam beberapa alat dan tempat di Dewan Kesenian Kota Mojokerto sebagai tempat latihan.

Girilaja beranggotakan 8 orang dengan berbagai keahlian bermusik dan bermacam profesi. Agus Sugiyono (Gong, tukang becak), Agung (Bunguh, buruh pabrik), Sigit (Saron dan Perkusi, pengamen jalanan) dan Agus Prasetyan (Bass, pengamen jalanan), Mardiono alias Growak (Gitar, pasukan kuning swasta PT. Bijak), Catur Palupi alias Upik (Perkusi, ibu rumah tangga dan les privat), Andik (Peking, pengamen jalanan) dan Nur Syamsi (Kendang, kuli batu).

Yang patut diteladani dari kelompok musik Girilaja ini adalah mereka senantiasa berupaya untuk menciptakan lagu dan lirik sendiri. Antara lain, Bung Karno, Indonesiaku, Negeri Main-main dan Mojokerto Berseri. “Kita tidak usah takut kalau lagu kita tidak laku. Sejelek apapun lagu itu, pasti ada penggemarnya”, yakin Mas Er.

Untuk dunia kesenian di Mojokerto, khususnya di kota, Mas Er berharap adanya upaya-upaya dari pihak-pihak yang peduli untuk turut memperhatikan nasib para seniman dan meningkatkan perhatiannya terhadap dunia kesenian. “Mojokerto ini kaya akan seniman yang kreatif, tapi banyak yang terabaikan, baik pelaku maupun keseniannya itu sendiri”, pungkas Mas Er.

Oret-oret

WASIAT


Kutitipkan selembar puisi ini
padamu
Selepas ku pergi nanti
Ku ingin kau yang memilikinya
Hanya itu harta berhargaku

Aku akan terus hidup dalam puisi itu
Aku musnah saat puisi itu
telah menjadi sampah
Aku tak berarti
Saat kau tak lagi peduli

Komunitas Musik Country Girilaja Mojokerto

Logo Komunitas Lembah Pring Jombang

Logo Komunitas Lembah Pring Jombang
Design by: Fahrudin Nasrulloh dan Samsul Nanggalrek