Ludruk Karya Budaya, Cermin Yang Hidup
Oleh : Jabbar Abdullah*
Marsudyo wong cilik biso gumuyu
(Berupayalah membuat orang kecil bisa tersenyum) -- Semar --
Segala yang menjadi perhatian sudah barang tentu memiliki “sesuatu” yang menarik dan patut untuk disimak. Begitu pula ketika membincangkan Ludruk Karya Budaya (LKB) yang menurut saya telah menjadi “legenda hidup” sebagai salah satu ludruk yang –mungkin– tertua dan pernah ada di Jawa Timur yang mampu bertahan hidup selama 40 tahun. Berangkat dari hasrat dan adanya “sesuatu” yang menarik itulah tulisan ini dimunculkan dengan maksud untuk menyelami lebih dalam proses kreatif LKB dalam melangsungkan tugas berkeseniannya untuk menjadikan kesenian ludruk lebih bermartabat dan terhormat serta bukan hanya sekadar hiburan saja.
Bagi yang sempat membaca, secara historis, sosok LKB telah diuraikan cukup gamblang oleh Khairul Inayah dengan judul “40 Tahun Ludruk Karya Budaya” pada Minggu (31/5) di rubrik Serambi Budaya, Radar Mojokerto. Untuk itu, dalam tulisan ini saya tidak akan mengulang-hadirkan lagi tentang riwayat hidup LKB. Lebih jauh, saya ingin mempertanyakan, apakah kita sebagai masyarakat kesenian (terutama di Mojokerto) benar-benar telah ber-andarbeni dan perhatian terhadap taqdir seni-budaya kita yang miliki?
Pada tanggal 29 Mei 2009 lalu, LKB telah berusia 40 tahun. Selama 40 tahun “berjihad” di ranah seni tradisi (ludruk), LKB (dalam kondisi apapun) telah menunjukkan diri sebagai sosok ludruk yang mandiri dan tangguh dengan tidak sekalipun mengemis, apalagi merengek-rengek untuk “disusui” oleh “Nippon” dalam menghidupi rumah tangga ludruknya. Lebih jauh, Cak Edy Karya menegaskan bahwa kebiasaan “menyusu” tidak baik untuk “kesehatan” (baca: martabat) ludruk itu sendiri, apalagi jika telah menjadi hobi. Bahkan, LKB semampu mungkin untuk dapat menjadi sosok ludruk yang “tangannya di atas daripada tangannya berada di bawah”. Sejak awal Cak Edy Karya telah menanamkan keyakinan kepada anggota ludruknya bahwa ludruk ini harus mampu mandiri dan tidak condong ke mana-mana.
Secara tidak langsung, prinsip kemandirian ini berdampak pada ruang gerak ludruk itu sendiri. Dalam konteks ini, sepertinya LKB telah memetik buahnya. Karena tidak terikat kepada siapapun dan apapun, LKB bebas terbang sesukanya untuk tampil –kapanpun dan di manapun– sesuai dengan job yang mereka terima hingga menerima undangan sebagai bintang tamu atau terkadang juga mengikuti beberapa lomba.
Prinsip lain yang tak kalah pentingnya adalah andarbeni (rasa memiliki). Cak Edy Karya menempatkan prinsip ini dalam skala prioritas yang sejak dini dan secara kontinyu harus selalu dipupuk demi mencegah perceraian dalam rumah tangga LKB. Kurangnya rasa andarbeni ini bisa jadi untuk ke depannya turut memberikan pengaruh kuat –bahkan menentukan– terhadap nasib atau “taqdir” hidup dan matinya LKB, mungkin juga bagi grup ludruk atau komunitas secara umum. Andarbeni dapat tumbuh subur manakala telah tercipta suasana yang kondusif dan kekeluargaan agar seluruh anggota dapat kerasan serta nyaman untuk tinggal di rumah bernama LKB. Sedangkan muaranya adalah kerinduan yang mendalam untuk pulang kala berada di luar rumah dan nyambangi tatkala ada anggotanya yang memasuki masa pensiun.
Sedangkan 3 bentuk komunikasi yang diterapkan LKB yang juga dalam rangka menjaga keharmonisan rumah tangga ludruknya adalah tedean, spelan dan nyebeng. “Tedean” merupakan bentuk komunikasi yang wajib dilakukan antara anggota yunior dan senior dalam rangka menumbuhkan keakraban dan mempererat rasa persaudaraan antara sesama anggota ludruk. Komunikasi berupa tanya-jawab seputar dunia ludruk, mulai dari keaktoran sampai urusan dapur. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi pengkastaan di antara anggotanya. Di samping itu, adanya tedean juga diharapkan dapat mengikis kecemburuan serta menjadi awal dari proses regenerasi.
Sementara spelan adalah bentuk komunikasi yang terjadi ketika hendak pentas dan naik panggung. Sedapat mungkin tiap-tiap anggota (terutama yunior) untuk bertanya (janjian) tentang kapan saatnya harus keluar (baca: naik panggung) yang biasanya terjadi saat menyuguhkan lawakan. Komunikasi semacam ini diperlukan juga turut menentukan kualitas sebuah pertunjukan ludruk. Seorang pemain diharapkan mampu berpikir kreatif agar pertunjukkan yang disuguhkan tidak monoton alias itu-itu melulu. Di samping itu, spelan juga bertujuan untuk menjaga efisiensi waktu agar tidak molor dari waktu yang telah ditentukan.
Kemudian komunikasi yang ketiga adalah nyebeng. Yakni komunikasi yang diwujudkan dengan diwajibkannya anggota yunior menonton atau melihat seniornya pentas. Lebih jauh lagi, sedapat mungkin nyebeng ini diterapkan di luar dengan menonton grup ludruk lainnya untuk menambah pengetahuan dan wawasan baru (kreatifitas) tentang dunia perludrukan. Komunikasi ini juga tidak menutup kemungkinan berlaku bagi anggota senior. Singkat kata, kalau ingin ditonton, maka juga harus mau menonton.
Dalam konteks sosial, LKB sadar betul bahwa mereka juga menjadi bagian dari masyarakat. Karena itulah mereka terus berupaya membangun pola interaksi yang baik saat menjalankan tugas kesenimanannya, baik secara individu maupun kolektif. Dengan kata lain, LKB memiliki tanggung jawab moral dan sosial ketika di hadapkan pada realitas masyarakat tempat di mana mereka berproses kreatif. Kesadaran inilah yang kemudian menjadikan LKB banyak mendapatkan apresiasi positif ketika pentas, baik dari masyarakat kesenian (penonton) maupun para pengamat ludruk. Kepercayaan ini tidak disia-siakan oleh LKB. Mereka senantiasa melakukan pembenahan diri (bercermin) di segala lini yang berkaitan dengan perludrukan dan membayar kepercayaan masyarakat dengan tampil sebaik-baiknya ketika mendapat tanggapan. Karena yang terpenting bagi Cak Edy Karya selaku pimpinan LKB adalah main yang baik dulu, urusan nominal belakangan.
Jika LKB mampu mencuri hati para penontonnya, maka tidak menutup kemungkinan kalau LKB bukan hanya menjadi milik dirinya sendiri melainkan juga akan menjadi milik semua lapisan masyarakat.
Kesadaran di atas jugalah yang membuat LKB terbebas dari “penyakit” kesenimanan, yaitu ujub (narsis atau ke-aku-an) dan eskapisme, yaitu seniman yang tidak konsisten dalam ngopeni kesenian yang digelutinya sehingga “loncat sana-loncat sini” untuk menutupi ketidak-kreatifannya. Seniman semacam ini biasanya mengalami krisis eksistensi karena ketidakmampuannya –kalau tidak dikatakan malas– menghidupi keseniannya.
Segala upaya LKB yang diuraikan di atas hingga sampai pada fase kesadaran sosialnya merupakan bentuk “jihad kebudayaan” yang akan terus ditumbuh-kembangkan hingga LKB tak berwujud sebagai ludruk lagi, atau lebih tepatnya menjadi “situs kebudayaan”. Terlepas dari apa wujud akhir LKB nanti, mereka tetaplah layak dijadikan “cermin hidup” bagi kawan ludruk lainnya dari segala sisinya, terlebih dari sisi kemandiriannya. Karena bagaimanapun, harga diri kesenian tradisi (dalam hal ini ludruk) menempati peringkat teratas untuk senantiasa diperjuangkan dan dipertahankan hingga “maut” menjemput ludruk.
Akhirnya, saya mengucapkan: selamat ulang tahun untuk Ludruk Karya Budaya yang ke-40. Semoga tetap jaya dan “jihad kebudayaan”-nya bermanfaat bagi umat kebudayaan serta tetap mencipta karya yang berbudaya. Amin.
--------------
Jabbar Abdullah, Pegiat Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto dan Pendiri Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto (PaLu-KB) di Facebook.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar