Melihat Wajah Festival Bulan Purnama Majapahit*
Oleh : Jabbar Abdullah**
Selepas maghrib, arus lalu lintas di sepanjang jalan raya Jatipasar, Kec. Trowulan tampak sibuk dan sesekali macet oleh banyaknya pengendara dan pejalan kaki yang menyeberang. Bukan kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kemacetan atau pengaspalan jalan, namun ada peristiwa kesenian yang mengundang perhatian besar masyarakat di sekitar kampung Wringin Lawang (Jatipasar). Peristiwa kesenian itu bernama Festival Bulan Purnama Majapahit yang terjadi hanya sebulan sekali dan selalu bertepatan dengan terjadinya bulan purnama atau oleh orang Jawa disebut padhang mbulan yang dalam kalender Jawa jatuh pada tanggal 15.
Kegiatan bulanan yang diagendakan oleh Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM) ini sebelumnya telah diawali dan digelar pada tanggal 29 April 2010 di Gapura Wringin Lawang dengan menu pentas tari yang memang bertepatan dengan hari tari sedunia dengan Biro Tari DKKM sebagai pelaksana programnya. Nah, pada Festival Bulan Purnama Majapahit jilid dua yang digelar pada tanggal 29 Mei 2010 lalu juga bertepatan dengan HUT Ludruk Karya Budaya Mojokerto ke 41.
Menu yang disuguhkan sungguh menarik. H. Drs. Eko Edy Susanto, M. Si, yang akrab dipanggil Cak Edy Karya, putera Cak Bantu Karya, yang saat ini menjadi nahkoda ludruk Karya Budaya sekaligus Ketua Umum Dewan Kesenian Kab. Mojokerto ternyata jauh-jauh hari telah menyiapkan kado khusus. Kado itu berisi pentas ludruk kolaborasi antara beberapa pengurus DKKM, ludruk remaja dengan ludruk Karya Budaya (LKB) yang terbungkus dalam Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010. Dengan kata lain, Dewan Kesenian Kab. Mojokerto pada tanggal 29 Mei 2010 yang lalu turut merayakan dan memberi penghargaan atas “kelahiran kembali” ludruk Karya Budaya.
Lantas apa yang ada di balik kado “pentas kolaborasi” tersebut? Secara kasat mata, pentas kolaborasi itu biasa dan dapat terjadi di mana saja. Namun kalau kita perhatikan dengan seksama, kita akan menemukan sisi lain di luar yang “biasa” itu. Apakah itu? Sesuatu itu dinamakan “andarbeni” atau rasa memiliki. Secara tidak langsung, beberapa pengurus DKKM dan beberapa remaja yang terlibat dalam pentas kolaborasi itu telah diajak Cak Edy Karya untuk turut merasakan beratnya perjuangan ludruk Karya Budaya dalam mengemban misi mempertahankan martabat seni-tradisi (baca: ludruk) hingga mencapai usia 41 tahun. Atau dengan kata lain, main ludruk itu tidak semudah yang dibayangkan dan tidak semua mampu melakukannya. Dan pada saat yang bersamaan, Cak Edy Karya juga hendak menunjukkan bahwa tidak ada kasta dalam ludruk. Untuk sementara, inilah yang mampu penulis “baca” dari pentas kolaborasi yang diusung ludruk Karya Budaya.
Malam itu, gapura Wringin Lawang mendapat sorotan lampu halogen sehingga tampaklah kegagahannya sebagai pintu gerbang masuk menuju kerajaan Majapahit. Dan untuk pertama kalinya, gapura Wringin Lawang menjadi obyek wisata budaya malam hari. Silih berganti orang-orang yang menghadiri festival mejeng untuk sekedar foto bersama sekaligus menikmati pameran foto Ludruk Karya Budaya yang digelar oleh Panorama Photography dari Malang.
Suasana mistis juga terasa berhamburan tatkala terjadi bulan purnama dengan posisi bulan tepat di tengah-tengah gapura Wringin Lawang. Beberapa menit kemudian, bulan beranjak naik sehingga dalam radius 100 meter dari Gapura Wringin Lawang bulan tampak tepat berada di ujung gapura. Fenomena ini tidak disia-siakan oleh para pengabadi peristiwa. Dengan kameranya masing-masing, mereka berburu momen bulan purnama yang memang langka terjadi di area gapura Wringin Lawang yang oleh penduduk sekitar diyakini, bahwa jika terjadi bulan purnama utuh, maka artinya “leluhur” memberikan restunya.
Beberapa damar sewu yang mengelilingi area pentas ludruk juga memberi warna tersendiri, paling tidak mewakili suasana kemajapahitan. Malam itu memang terasa istimewa, selain telah terjadi peleburan antara spirit tradisi (lokalitas) dengan modernitas juga dengan hadirnya Bapak RB. Sentanu dari Katahati Institute Jakarta yang sebelum pentas ludruk dimulai menyempatkan diri untuk naik panggung dan memberikan orasi budaya. Hadir pula rombongan perwakilan dari Pura Dalem Majapahit Klungkung, Bali. Tamu undangan lainnya yang hadir diantaranya; Cak Hengky Kusuma (pegiat ludruk, Surabaya), Cak Karsono (Bengkel Muda Surabaya), Cak Ngaidi Wibowo (pegiat ludruk, Jombang), Fahrudin Nasrulloh dan M. S Nugroho (Dewan Kesenian Jombang).
Ada satu pelajaran berharga yang diberikan Cak Edy Karya selaku ketua umum Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto ketika mengawali dan memberikan prakata dalam ajang festival bulanan ini. Yakni, pembacaan laporan pembiayaan Festival Bulan Purnama Majapahit yang dibacakan ala takmir masjid yang membacakannya sebelum khutbah Jum’at dimulai. Sekali lagi, ini bukanlah perkara aneh-aneh atau sekadar transparansi belaka. Namun ada nilai luhur di dalamnya yang hendak ditanamkan oleh Cak Edy Karya, yaitu amanah. Dengan pembacaan secara terbuka (nama donatur dan nominal) di depan jama’ah yang – meminjam istilahnya WS. Rendra – hadir dan mengalir di festival, berarti seluruh dana yang diterima (diamanahkan) telah digunakan dengan sebaik-baiknya untuk keperluan festival, bukan untuk yang lain-lain. Hal semacam ini menjadi penting selain sebagai bentuk tanggung jawab, juga merupakan wujud kesadaran akan mahalnya sebuah kepercayaan. Seterusnya, semoga hal ini dapat menjadi percontohan.
Jika hal-hal sederhana namun sarat makna di atas mampu dipertahankan, maka insya Allah wajah Festival Bulan Purnama Majapahit dengan segala keterbatasannya akan menjadi utuh dan sempurna, sesempurna bulan purnama yang sesungguhnya. Akhirnya, penulis mengucapkan: Dirgahayu 41 Tahun Ludruk Karya Budaya Mojokerto. Semoga tetap jaya. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar