Ketika Pohon Tidak Berakar
Oleh : Jabbar Abdullah
(Pegiat Komunitas Sastra Lembah Pring Biro Mojokerto)
Hidup tanpa rintangan (ujian) bukanlah hidup yang sebenarnya, seseorang harus hidup dengan api di bawah kakinya. (Muhammad Iqbal)
Seorang laki-laki setengah baya dengan langkah gontai memasuki ruang berlampu remang. Raut wajahnya kusam. Sorot matanya gelisah bercampur ketakutan. Kelihatannya dia menyimpan “sakit” yang dalam. Entah, “sakit” apa yang dirasakannya. Tak ada yang benar-benar tahu selain dirinya sendiri. Pada kedua pundaknya bergelantung dua sosok mayat yang tak lain adalah anak dan istrinya tercinta. Kecintaan yang berlebihan pada anak dan istrinya membuat laki-laki itu tidak segera dapat menerima “kunjungan” kematian yang tiba-tiba. “Kenapa kematian begitu kejamnya menghancurkan surga kami”, keluh si tokoh sembari duduk di sebelah mayat istri dan anaknya.
Sepotong narasi di atas adalah kisah dalam naskah monolog berjudul “Pohon Tanpa Akar” karya Maila yang pernah dipentaskan di Medan, 10 Maret 2005. Sedangkan si tokoh diperankan oleh Andrei Wibowo atau yang akrab dipanggil Andrei “Brengos”.
Pada intinya, naskah monolog “Pohon Tanpa Akar” berkisah tentang seorang lelaki malang yang mengalami kekecewaan dan pengkhianatan. Orang-orang kepercayaannya semasa masih berjaya, satu persatu menjauh dan pergi meninggalkannya. Dengan kata lain, si tokoh mengalami kebangkrutan dalam hidup. Harta, jabatan, teman bahkan istri dan anaknya silih berganti “pergi” meninggalkannya. Namun semua itu dianggapnya sabagai ujian yang akan dialami oleh siapapun yang hidup. Karena itulah, si tokoh yang pada awalnya mengeluh dan meratap-ratap, perlahan tapi pasti kembali bangkit. Ujian itu dijadikannya bahan renungan yang mendalam. “Bagaimanapun, hukum sebab akibat tetap berlaku dalam masalah ini”, katanya.
Andrei “Brengos”, yang saat ini tinggal di Jl. Benteng Pancasila No. 28 juga pernah mementaskan beberapa naskah lain. Di antaranya, naskah “Wabah” karya Hanindawan, “Siklus” karya Rony Bolot, “Bendera Setengah Tangkai” dan “Sisi Gelap kamar Yuli” gubahan Bagus Mahayasa (Lidhie Art Forum). “Untuk saat ini, naskah monolog “Pohon Tanpa Akar” yang saya pentaskan kemarin di STIKES Dian Husada Jabon bersama teman-teman Teater Aprodit adalah last but not least, terakhir tapi bukan yang terakhir”, terang pria kelahiran Mojokerto, 22 Januari 1972.
Satu pesan moral dalam naskah monolog “Pohon Tanpa Akar” yang dapat dijadikan sebagai satu bahan renungan bersama adalah bahwa kita baru dapat merasakan nilai hakiki dari segala yang ada dan yang kita miliki (harta, jabatan dan istri serta anak) saat semua yang ada dan yang telah kita anggap sebagai milik kita satu-persatu telah pergi dengan segala sebabnya, dan kematian adalah sebab yang tak seorangpun dapat menduganya. Kematian datang dari arah yang tidak pernah kita duga. “Cukuplah kematian sebagai pengingat”, begitulah peringatan-Nya.
Ini bukan naskahnya Maila
BalasHapusDia plagiat. Naskah aslinya adalah Pohon Tanpa Daun karya Agus Susilo. Semua buktinya ada. Naskah ini dipentaskan pertama kali di Taman Budaya Sumatera Utara tahun 2005 kalau gak salah. Maila ini lagi dicari atas palgiatisme nya