Menyoal Kesenian Jombang dan Ancangan Pengeksplorasiannya
Fahrudin Nasrulloh*
Yang lama musnah
Masa pun berubah
Dan di atas puing-puing reruntuhan
Mekarlah kehidupan baru
-- Willem Schiller --
Landasan Pemikiran Pelestarian dan Perlindungan
Pelestarian adalah sebuah proses panjang dan rumit namun urgen dalam sebentang ikhtiar sejauh mana kesenian dan budaya Jombang ditumbuh-lestarikan. Wacana ini, jika disepakati, tentunya akan menggulirkan pengkajian dalam ranah “ilmu-ilmu sosial” yang penggarapannya bertolak berdasarkan prosedur yang dianggap ilmiah, atau di sanalah sebentang penyajian dan penelusuran akan fakta diberlakukan. Dalam hal ini, ungkapan apa yang berlayapan tanpa terceritakan, membabarkan “kegelisahan kreatif” bahwa cikal-bakal yang terdapat dalam tradisi tutur suatu masyarakat layak dituliskan. Tapi benarkah hal itu layak dituliskan? Agar apa yang tertulis akan abadi dan yang terucap bakal lenyap dapat dijadikan pertimbangan yang masuk akal demi keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri, lebih-lebih, bagi generasi manusia Jombang.
Maka dari itu, ada tiga pokok penting dalam upaya Pelestarian ini. Pertama Konservasi: upaya penggalian kembali seni tradisi yang telah punah. Kedua Revitalisasi: upaya pemberdayaan kembali seni tradisi yang hampir punah atau tidak berkembang. Ketiga Eksplorasi: upaya pengembangan seni tradisi agar bisa diakomodasi secara lebih luas dalam konteks pergelaran dan pertunjukan, atau yang sejenisnya. Untuk sementara waktu, daftar seni tradisi dari Jombang dapat disebutkan semisal: Sandur Manduro, Wayang Topeng, Cerita Panji, Wayang Krucil, Kentrung, Ketoprak, Wayang Orang, Jaran Kepang, Ludruk, Hadrah ISHARI, Gambus Misri, Wayang Kulit, dan lain-lain.
Maping Problem: Sebuah Pembacaan Temporer
Seberapa jauh kerangka pemikiran dalam upaya konservasi, revitalisasi, dan eksplorasi tradisi seni-budaya Jombang didedahkan? Dengan metodologi apa? Berdasar rumusan kepenelitian yang bagaimana? Siapakah dan dalam kasipasitas akademik yang bagaimana si penulusur atau penulis tersebut bisa mempertanggungjawabkan hasilnya secara otoritatif dan kualitatif? Mungkin sejumput pertanyaan ini dapat dijadikan bahan awal serampung kita menyimak inventarisasi seputar kultur agraris yang telah bercokol lama, atau sedang tergerus arus modernisasi, atau bahkan telah sirna sama sekali.
Inventarisasi dan Katalogisasi
Setelah terketahui dan terpahami (setidaknya demikian yang terbayangkan) akan seberapa kompleks pemetaan problem di atas, maka paling tidak bakal sedikit tersingkap untuk memulai upaya Pelestarian dan Perlindungan ini. Langkah awal adalah pendataan kesenian yang selengkapnya dan sesegera mungkin. Kemudian, setelah upaya ini dapat berjalan dengan baik dan kontinyu, maka usaha katalogisasi dilakukan agar kita bisa melihat dan menimbang: apakah keberadaan warisan kesenian yang ada di Jombang ini dapat dibangkitkan dan dikembangkan? Pasti, hal ini membutuhkan perjuangan yang lama dan sejauh mana ketangguhan SDM Jombang mampu bekerja dengan baik, konsisten, ikhlas, dan memiliki agenda kerja yang jelas, transparan, dan sistemik.
Seputar Gagasan Penulisan dan Bayangan Implementasinya
Sejumlah gambaran data kesenian Jombang di atas tidak sekedar sebagai langkah awal. Pastilah masih banyak yang belum tertelusuri dan terdata. Ini merupakan “agenda besar dan panjang” bagi masyarakat Jombang, terutama bagi yang benar-benar berkonsentrasi pada warisan yang melimpah ini. Jika pemerintah setempat dapat bersinergi demi konservasi, revitalisasi, dan eksplorasi, tentu hal itu cukup sangat menggembirakan dan patut disambut dengan legawa dan sumringah. Namun jika setengah-setengah, atau bahkan tidak antusias sama sekali, lantas apa yang bisa diperbuat? Memang kita tidak memerlukan busa-busa kata dan gagasan yang muluk-muluk, tapi tindakan konkritlah yang terpenting. Atau satu per satu diurai-kembangkan. Menelusur, menyimak, dan mencatat! Terus dan terus dilakukan.
Maka pokok utama dari apa yang dimaksud dengan Sastra Agraris adalah menulis. Sesederhana apa pun dan bebas bagi siapa pun yang berminat dan tergerak untuk menuliskan riwayat dan perkembangan seni-budaya Jombang yang telah disebutkan di atas. Begitulah gambaran simpelnya dari Sastra Agraris. Diharapkan, bagi stake holder yang bersangkutan, semisal Pak Priyo, yang ngopeni tradisi Topeng Jati Duwur, atau Pak Tajuk Sutikno, Pak Darmono, Pak Agil, Pak Ali Markasan, dan lain-lain, yang menggeluti seni ludruk: dapat menuliskan apa saja yang dianggap penting agar ludruk tidak lagi dibilang mati suri atau bersengkarut-ruwet secara internal hingga kini. Kita tidak menghendaki, jika katakanlah 20 tahun kemudian, ludruk Jombang hanya tinggal cerita dalam ingatan yang lambat-laun pudar.
Sastra Agraris: Dialektika di Medan Fakta dan Fiksi
Menyoal perihal fakta dan fiksi, maka keterkaitan dengan agenda literasi dalam bentuk “Sastra Agraris” menjadi sangat urgen untuk sedikit dipaparkan. Hairus Salim, dalam pengantar editorial buku Hayat dan Karya (LKiS, 2002: Yogyakarta. Judul asli: Works and Lives, The Anthropologist as Author) anggitan Clifford Geertz, mengulik bahwa karya ini merupakan pemeriksaan kritis atas kedudukan ilmiah dan kedudukan literer ilmu antropologi, serta pada akhirnya masa depan ilmu antropologi. Topik ini, dan dari karya ini, selanjutnya memang memantik perhelatan serius dan provokatif dari semisal James Clifford dan George. G. Marcus dalam kumpulan esai terkenal yang mereka edit, Writing Culture (1986), atau pada Renato Rosaldo, untuk menyebut beberapa, yang pada gilirannya menimbulkan “krisis representasi” dan “krisis legitimasi”, bahkan “otoritas” dalam ilmu-ilmu sosial. Sosok Geertz bisa disebut sebagai salah satu orang yang telah membuka tirai perdebatan dan menyodok habis kemapanan ini. Pada paragraf ketiga, Hairus Salim menulis begini:
Dalam banyak hal, apa yang disebut fakta sesungguhnya adalah sesuatu yang fiktif. Sementara itu apa yang disebut fiksi, tak sepenuhnya imajinatif dan subjektif. Karya seorang novelis atau penyair, bukan turun tiba-tiba dari langit, tetapi hasil dari pergumulan dan pengalaman sosialnya. Artinya, karyanya pada dasarnya juga menyajikan fakta. Keduanya pada akhirnya sama-sama menyajikan “fakta”, yakni fakta yang ditafsirkan. Atau keduanya sama-sama merupakan fiksi: suatu ciptaan atau konstruksi.
Klaim fakta yang selama ini menjadi sandaran ilmiah ilmu-ilmu sosial telah melumer dan mencair. Watak imajinatif memang tak terelakkan dari karya-karya ilmu sosial: bagaimana tema dipilih, format dibangun, dan tulisan disusun semuanya melibatkan penafsiran, semuanya fiksi, seluruhnya konstruksi.
Kini bukan hanya tak gampang untuk menentukan jenis sebuah karya, tapi juga identitas kepengarangan seorang penulis atau seorang pengarang. Batas-batas kini tak lagi jelas. Termasuk batas-batas di dalam ilmu sosial, yang selama ini kita kenal sebagai “disiplin”. Prosedur-prosedur ilmiah yang selama ini dijadikan landasan umumnya sebuah disiplin, kini juga mengalami kegoncangan. Seluruh prosedur itu pada dasarnya fiksi juga, ciptaan juga, dan konstruksi juga. Ia semata justifikasi. Krisis ini melahirkan sifat interdisipliner atau bahkan anti-disiplin.
Pembentukan Tim Pelestarian dan Perlindungan
Satu hal yang perlu dicatat bahwa dengan terbentuknya Tim Pelestarian dan Perlindungan (TPP) Kesenian Jombang yang dikukuhkan seusai acara Dialog Budaya dengan tema “Restrukturisasi dan Revitalisasi Dewan Kesenian Jombang”, pada 5 November 2008, di Taman Tirta Wisata Jombang: diharapkan menjadi sebentang ikhtiar yang riil di mana yang terlibat diuji kredibilitas dan kapasitasnya dalam kinerja pengeksplorasian. Sedikit demi sedikit, di bawah pantauan Pak Nasrul Ilahi (wakil dari Dinas Parbupora Kabupaten Jombang), pendataan yang dilakukan TPP sangat membantu dalam pemetaan kesenian Jombang secara terus-menerus. Sementara, anggota TPP yang masih tetap bertahan hingga sekarang adalah: Bu Ellin, Bu Susnania, Pak Supriyo, Ngaidi Wibowo, Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Heru Cahyono, Fahrudin Nasrulloh, Koko Hari Pramono, dan Siti Sa’adah.
Dengan demikian, RKTL (Rencana Kerja Tindak Lanjut) dapat bergerak dengan baik sembari terus berkoreksi diri. Di bawah ini beberapa sampel agenda babon penulisan (selain yang termaktub di atas) yang sedang dalam proses penggarapan: Babad Kebokicak, Riwayat Ludruk di Jombang, Babad Jombang (Sejarah dan Perkembangan Kabupaten Jombang), Direktori Seniman Jombang, Di Balik Cerita Tokoh-tokoh Ludruk Jombang, dan lain masih banyak lagi.
Dari ilustrasi demikian, niscaya sangat dibutuhkan manusia-manusia Jombang (lepas dari balik kepentingan apa pun yang bersifat politis) yang dapat merumuskan “gerakan kebangkitan seni-budaya Jombang” dengan banyak cara dan strategi yang komunikatif, fleksibel, dan akomodatif. Pengharapan munculnya kantong-kantong kebudayaan semisal komunitas-komunitas seni, komunitas penulis (atau yang lebih riil berupa gagasan Jombang Creative Writing Institut. Semacam sekolah rakyat bidang beragam kepenulisan dari biografi, sejarah kota-desa, dongeng dan cerita rakyat, hingga penulisan cerpen, novel, puisi, dan naskah drama), para pegiat teater, pusat laboratorium riset, Museum Ludruk, Sanggar Perupa, Markeso Library Center, jurnal seni-budaya Jombang, Green Maping Wisata Jombang, Green Maping Kuliner Jombang, Green Maping Arsitektur Tua Kota Jombang, dan banyak lagi sejenis itu yang bisa diagendakan.
Apabila sekian ancangan atau ilustrasi di atas dapat direalisasikan, tentu, Jombang akan bisa bertarung dengan beberapa kota berbudaya lain (tentu dengan kadar masing-masing) semisal Jogja, Jakarta, Bandung, Bali, Riau, Surabaya, atau lebih dekat, Mojokerto. Setiap even seni-budaya mungkin kelak kita tidak akan bercermin atau dibayang-bayangi pada dan oleh kota-kota tersebut. Kita bisa menggelar festival-festival spektakuler sendiri dengan terlebih dahulu menimbang seberapa besar entitas seni-budaya Jombang dapat ditumbuh-suburkan secara alami, progresif, jujur, dan guyub. Selamat bergerak kawan-kawan TPP!
----------
Fahrudin Nasrulloh, Koordinator Tim Pelestarian dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar