Bertemu Keluarga Cerpen di SMPN 2 Jombang
Oleh: Jabbar Abdullah
(Pegiat Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto)
Apa itu cerpen? Apa yang membuat seseorang menulis cerpen? Siapa yang membutuhkan cerpen?
Paling tidak untuk saat itu (Selasa, 3/2), tiga pertanyaan di atas telah menyelimuti selaput pikiran para Guru MGMP Bahasa Indonesia se-Kabupaten Jombang ketika mengikuti workshop kepenulisan cerpen di ruang perpustakaan SMPN 2 Jombang yang di moderatori MS Nugroho, guru setempat.
Fahrudin Nasrullah, selaku nara sumber workshop kepenulisan cerpen mengawali acara sesi pertama dengan menyampaikan curriculum vitae-nya secara singkat, khususnya tentang proses kreatifnya di dunia kecerpenan. “Proses kreatif tidak boleh berhenti”, tegas Fahrudin yang juga founding father komunitas sastra Lembah Pring Jombang.
Setelah bertutur ngalor-ngidul soal proses kreatif, Fahrudin meneruskan pembahasannya ke wilayah sastra. Tentang materi sastra ini, ada pertanyaan sederhana dari Fahrudin yang tertuju kepada seluruh Guru MGMP Bahasa Indonesia yang hadir saat itu, yakni apakah selama kegiatan belajar mengajar (KBM) Bahasa Indonesia di sekolah, sastra hanya dijadikan “tempelan” saja?
Mendengar pertanyaan tersebut, semua guru hanya bergeming. Berangkat dari pertanyaan itulah kemudian Fahrudin mengurai dan membumikan kesusteraan di benak para Guru MGMP Bahasa Indonesia dengan menyodorkan beberapa pengalaman dari para sastrawan dan penulis-penulis yang serius menerjuni dunia kepenulisan umumnya dan sastra (cerpen) khususnya. Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis, “Kambing” karya Joni Ariadinata, Atau “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” karya Kuntowijoyo adalah sebuah perlawanan terhadap kebekuan realitas yang selama ini hanya melayap-layap dalam ingatan dan kesadaran semu kita. “Pada dasarnya, semua bentuk tulisan (Cerpen, Puisi, Novel dan Esai) adalah bentuk sebuah “perlawanan”, pungkas Fahrudin, yang hobi berburu buku-buku dan naskah-naskah kuno (lawas) ini.
Menginjak sesi kedua diadakan dialog interaktif. Ada dua pertanyaan menarik dalam sesi dialog interaktif ini yang selama ini menjadi kegelisahan sebagian besar guru Bahasa Indonesia. Pertanyaan pertama dilontarkan oleh Ibu Puspita, guru Bahasa Indonesia SMPN 3 Mojowarno, “Menurut anda, cerpen yang baik itu bagaimana?”
Pertanyaan selanjutnya datang dari Ibu Tutik, “Bagaimana cara menumbuh-kembangkan minat menulis kepada siswa?”
Menjawab pertanyaan pertama, Fahrudin menjabarkan, hal terpokok dari cerpen adalah “bagaimana menghadirkan cerita” atau “cara bercerita”. Cerpen ibarat sebuah rumah kecil di mana setiap sisi arsitektural dan bahan-bahannya sangatlah diperlukan dan diperhatikan untuk menopang berdirinya sebuah rumah tersebut. “Umumnya, cerpen yang baik terdiri dari plot (alur), konflik, membangun karakter tokoh yang kuat dan tidak samar, dan mendetailkan seting (latar). Pendek ungkap, cerpen adalah sebuah jalinan cerita yang diikhtiarkan bahwa sebuah cerpen musti dapat “melekat kuat dalam ingatan pembaca””, urai Fahrudin singkat.
Untuk pertanyaan dari Bu Tutik, Fahrudin memberikan empat ancangan umum untuk menumbuhkan spirit menulis. Pertama, Sodorkan 1 cerpen kepada siswa untuk dibaca bersama. Pilih yang ringan. Pilih 1 siswa yang berminat membacanya. Lalu lontarkan tanya-jawab semisal siapa pengarangnya, judul cerpennya, dan bagaimana jalan ceritanya. Kedua, secara kontinyu poin di atas dipraktekkan dalam 3 kali pertemuan sembari disarankan kepada siswa untuk membuat 1 cerpen: cukup 2 kalimat atau 2 paragraf saja (atau lebih jika mereka mampu). Ketiga, setiap siswa, setelah menyerahkan hasil cerpennya, diminta bagi yang berminat untuk membacakan karya cerpennya di depan kelas. Keempat, disarankan pada 47 guru bahasa Indonesia dalam MGMP se-Jombang ini untuk mengarang 1 cerpen lalu dikumpulkan, dicetak, dan dibagi ke seluruh siswa-siswanya. Tujuannya agar para siswa bisa meneladani dan tersemangati untuk menulis cerpen.
Pada pengujung acara, cerpenis yang tulisannya sudah banyak tersebar di beberapa media massa ini menutup acara workshop dengan mengutip ungkapan Temujin dari tlatah Mongol, “Lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar