Girilaja, Antara Berkesenian dan Keprihatinan
Oleh : Jabbar Abdullah (Pegiat Komunitas Sastra Lembah PringBiro Mojokerto)
“Bermain musik sampai “mabuk”, bukan mabuk saat bermain musik”.
(Motto Komunitas Musik Girilaja)
Mas Er, begitulah panggilan akrabnya. Sederhana, bersahaja dan selalu saja “gelisah”. Tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya Mas Er ini. Di muka umum, mungkin orang akan menganggap dia bukan siapa-siapa. Tapi ketika kita “mampu” menyentuh hatinya dan mengajaknya untuk ngobrol tentang ranah kesenian di Kota Mojokerto, maka kita akan dibuatnya geleng-geleng. Bagaimana tidak, ternyata dia bak “bank data” ketika diajak mengobrolkan perihal peta kesenian di Kota Mojokerto. Satu kelebihan yang tidak bisa diabaikan adalah kreatifitasnya dalam berkesenian, terutama soal musik akustik.
Nama lengkapnya Erwan Affandianto. Menapakkan kakinya di dunia kesenian (musik) sejak masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Hampir tiga puluh tahun dia “riwa-riwi” di jagad kesenian. “Yang menyebabkan saya tetap ajeg dalam berkesenian (musik) karena saya melakukan semua itu dengan “senang””, kata pria kelahiran Mojokerto 17 Oktober 1962 ini.
Perjalanannya mengarungi jagad kesenian cukup menarik untuk disimak. Kegelisahannya yang paling “akut” adalah ingin merubah “wajah” pola berkesenian di Kota Mojokerto. Menurutnya, kesenian di Kota Mojokerto “kurang” perhatian. Berangkat dari sinilah, lantas dia merintis jalan untuk membentuk komunitas musik. Terbentuknya Komunitas musik Girilaja tidak bisa dilepaskan dari riwayatnya yang panjang dan berliku. Ada tiga fase penting yang merupakan mata rantai terbentuknya komunitas musik Girilaja saat ini.
Anak Rakyat-1
Ide mendirikan komunitas musik sudah sejak lama berlelayapan di benak Mas Er. Tapi semua itu hanya “ide” sampai bertemu dengan Setyo Wacono pada tahun 1978 yang “berbaik hati” menampung ide sekaligus memfasilitasi semua kebutuhan Mas Er saat secara resmi komunitas musik itu terbentuk dan di beri nama “Anak Rakyat”. Tempat latihan Anak Rakyat waktu itu di salah satu rumah studio di Jl. Gajahmada (di bawah jembatan layang). Sementara warung tempat mereka mengisi perut berada di lokasi sekitar pemandian Sekarsari (perempatan Jl. Empunala). Anggota Anak Rakyat berjumlah 8 orang yang kesemuanya adalah pengamen jalanan, termasuk Mas Er sendiri.
Unik tapi nyata. Begitulah kiranya sebutan yang pas untuk Anak Rakyat yang waktu itu karena belum ada percontohan komunitas musik yang memadukan alat musik gamelan (gong, kendang dll) dengan alat musik modern semacam gitar dan harmonika. Diakui atau tidak, dari perpaduan tersebut ternyata mampu melahirkan irama musik (bahkan jenis aliran musik baru) yang menarik dan layak untuk didengar oleh mereka yang benar-benar “mengerti” musik. “Kalau bicara soal aliran musik, permainan musik kami lebih condong kepada aliran musik country. Tapi saya lebih senang menyebutnya dengan kontemporeran”, jelas Mas Er.
Kucuran keringat dan kesungguhan Anak Rakyat dalam berkesenian musik akhirnya berbuah manis. Tiap kali ada festival atau lomba bermain musik, mereka selalu mendapat juara. Salah satunya saat menjadi Juara II Festival Musik Volk Song di Gedung Nasional (kini GOR Majapahit) di Jl. Gajahmada 149 kota Mojokerto. Peristiwa yang tak terlupakan bagi Anak Rakyat saat itu (tahun 1980-an) adalah ketika diundang oleh stasiun televisi nasional TVRI Surabaya untuk bermain musik bersama dengan kelompok musik “Triple S” asal Kota Jember.
Anak Rakyat-2
Anak Rakyat sempat mengalami “masa tenggang” dan akhirnya bubar karena beberapa personilnya mengundurkan diri. Namun Mas Er tak patah semangat. Perlahan-lahan dia kembali bangkit dengan tetap mengajak rekan-rekannya sesama pengamen jalanan untuk membentuk komunitas musik baru. Dengan jumlah anggota yang sama pula, terbentuklah “Anak Rakyat-2”.
Mungkin tidak banyak yang tahu kalau Kota Mojokerto memiliki ahli karawitan dari keturunan Tionghoa, namanya Om Jang. Dari orang Tionghoa inilah, para personil Anak Rakyat-2 banyak sinau (belajar) karawitan. Mas Er menyebutkan, dulu rumah Om Jang terletak di Jl. Mojopahit (kisaran 3 rumah/ toko sebelah utara toko buku Hasan bin Syeban). “Kami berhutang budi terhadap Om Jing. Beliau banyak meluangkan waktunya untuk melatih kami karawitan. Beliau paling pinter kalau memainkan alat musik kendang”, kenang Mas Er.
Kurang lebih enam bulan lamanya Anak Rakyat-2 sinau karawitan kepada Om Jing, dan dalam rentang waktu itu pula di Kota Mojokerto vacuum lomba.
Anak Rakyat-3
Setiap komunitas (apapun itu) selalu akan mengalami pasang-surut. Hal yang sama terjadi pada komunitas musik Anak Rakyat. Usia Anak Rakyat-2 juga tidak begitu lama. Sempat bubar dengan sebab yang sama pula ketika terbentunya Anak Rakyat-1. Kelahiran Anak Rakyat-3 berawal dari “kekangenan” personil Anak Rakyat-2 untuk kembali bermain musik bersama-sama. Sekitar tahun 1989-an, Anak Rakyat-3 pernah mengikuti Lomba Volk Song yang bertema “Panggalian Seni Budaya Asli Majapahit” yang diselenggarakan oleh BP7. “Yang saya ingat, waktu itu sempat dipertunjukkan salah satu tarian asli Majapahit, itupun mendatangkan guru tari wanita dari Malang”, ungkap Mas Er, suami Minarsih ini.
Pada tahun yang sama, Anak Rakyat-3 mendapatkan kesempatan mewakili Kota Mojokerto mengikuti Festival Kesenian Jawa Timur di Surabaya. Namun tidak jadi, karena ada kelompok musik lain yang ngotot untuk ikut, sementara dana yang dialokasikan tidak mencukupi untuk “menghidupi” dua kelompok musik yang akan diberangkatkan ke Surabaya. Akhirnya dengan legowo Mas Er mengundurkan diri dan melepas kesempatan emas untuk berekspresi di tingkat Jatim. Di samping aktif di Anak Rakyat -3, Mas Er bersama Saipul Bakri (Penyair Buruh), sempat membentuk Komunitas Musik Buruh. Kegiatan latihan mereka di Gedung Saraswati, Jl. Hayam Wuruk Kota Mojokerto.
Kelahiran Girilaja
Setelah Anak Rakyat 1, 2 dan 3 mengalami stagnasi, Mas Er memutuskan untuk “cuti” bermusik. Di samping bermusik, untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, Mas Er pernah bekerja sebagai penunggu foto copy di PT. Telkom Jl. A. Yani dengan gaji Rp. 30.000 per/bulan. Ia juga pernah bekerja sebagai cleaning service di PT. Telkom Jl. Empunala dengan gaji Rp. 111.000 per/bulan. Suatu kali istrinya pernah memintanya untuk berhenti sama sekali berkesenian. Alasannya karena tidak ada yang diharapkan dari berkesenian, terlebih untuk mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Akhirnya Mas Er mampu memberikan pengertian terhadap istrinya, bahwa dalam berkesenian bukan cuma uang semata yang dicari. Lebih dari itu, dunia kesenian baginya adalah suatu “kesenangan” lain yang mampu memberikan “kepuasan” tersendiri bagi pelakunya ketika berkesenian itu tidak dilakukan dengan main-main.
Gagasan untuk kembali aktif di dunia komunitas musik muncul ketika secara tidak sengaja ada sekelompok pemuda di kampungnya yamng kerap pinjam gitar untuk mengamen di jalanan. Mas Er merasa prihatin melihat pemuda di kampungnya yang ngamen di jalanan yang kurang bisa menghargai hasil keringatnya sendiri. Hasil dari ngamen itu menjadi musproh saat dirupakan sebotol minuman keras. Berangkat dari keprihatinan itulah, Mas Er kemudian menawarkan kepada pengamen jalanan itu untuk membentuk komunitas musik. “Alhamdulillah. Dengan adanya kegiatan bermusik ini, perlahan-lahan anggota saya mampu meninggalkan kebiasaan negatif mereka. Sebelumnya mereka juga saya bai'at untuk tidak main-main dalam berkesenian”, ujar bapak tiga anak ini. Sementara untuk tempat latihan, Mas Er lantas meminta tolong kepada kawannya, Saipul Bakri (Biro Sastra Dewan Kesenian Kota Mojokerto), agar diupayakan untuk kiranya dapat meminjam beberapa alat dan tempat di Dewan Kesenian Kota Mojokerto sebagai tempat latihan.
Girilaja beranggotakan 8 orang dengan berbagai keahlian bermusik dan bermacam profesi. Agus Sugiyono (Gong, tukang becak), Agung (Bunguh, buruh pabrik), Sigit (Saron dan Perkusi, pengamen jalanan) dan Agus Prasetyan (Bass, pengamen jalanan), Mardiono alias Growak (Gitar, pasukan kuning swasta PT. Bijak), Catur Palupi alias Upik (Perkusi, ibu rumah tangga dan les privat), Andik (Peking, pengamen jalanan) dan Nur Syamsi (Kendang, kuli batu).
Yang patut diteladani dari kelompok musik Girilaja ini adalah mereka senantiasa berupaya untuk menciptakan lagu dan lirik sendiri. Antara lain, Bung Karno, Indonesiaku, Negeri Main-main dan Mojokerto Berseri. “Kita tidak usah takut kalau lagu kita tidak laku. Sejelek apapun lagu itu, pasti ada penggemarnya”, yakin Mas Er.
Untuk dunia kesenian di Mojokerto, khususnya di kota, Mas Er berharap adanya upaya-upaya dari pihak-pihak yang peduli untuk turut memperhatikan nasib para seniman dan meningkatkan perhatiannya terhadap dunia kesenian. “Mojokerto ini kaya akan seniman yang kreatif, tapi banyak yang terabaikan, baik pelaku maupun keseniannya itu sendiri”, pungkas Mas Er.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar