Kabar Dari Festival Monolog SLTA Se-Jatim
Oleh: Jabbar Abdullah*
Kurang lebih 20 kontestan ikut memeriahkan Festival Monolog tingkat SLTA se-Jatim pada tanggal 30 April sampai dengan 1 Mei 2009, di antaranya adalah Tetaer Jingga dan Teater Samudera Ilahi (Mojokerto), Teater Alif (Mojoagung, Jombang), Teater Bambu (Lamongan) dan Teater Biru (SMUN I Kebomas, Gresik). Acara ini diselenggarakan oleh Paguyuban Teater “Q” Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam rangka Dies Natalis Teater “Q” yang ke-XVI, memperebutkan trophy Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. Untuk kepenjurian, panitia mengundang Meimura (Bendahara Dewan Kesenian Jawa Timur) yang akrab disapa Mas Mei, yang juga sutradara Teater Ragil Surabaya.
Juara pertama dalam ajang tersebut yang sekaligus sebagai penata artistik terbaik disematkan pada Teater Pilar (SMKN Sukorejo Pasuruan). Juara kedua direbut oleh Teater Sun (SMU Muhammadiyah 3 Jember) dan Teater Alusedina ( SMUN 8 Surabaya) menduduki peringkat ketiga. Sedangkan dua juara harapan masing-masing ditempati oleh Teater Extra dari SMU Muhammadiyah I Gresik (Harapan I) dan Teater Biru asal SMUN I Kebomas, Gresik ( Harapan II).
Di tengah riuhnya kegiatan kampanye politik, adalah kebanggaan tersendiri ketika ada dua komunitas teater pelajar dari Mojokerto yang turut berpartisipasi dalam festival tersebut. Dua komunitas teater pelajar tersebut adalah Teater Jingga (TJ)dari SMAN I Puri Kab. Mojokerto dan Teater Samudera Ilahi (TSI) dari MAN Sooko Kab. Mojokerto. Meskipun tidak menyandang predikat juara, keikutsertaan Teater Jingga dan Samudera Ilahi tetap laik mendapatkan aplaus (kalau bukan acungan jempol) karena mampu memompa kembali –paling tidak untuk saat ini– denyut teater di Mojokerto yang belakangan ini terasa melemah. Dalam catatan penulis, kegiatan terakhir pentas teater di Mojokerto yang sempat terekam adalah saat Andrew “Brengos” Widodo melangsungkan monolog bersama Teater Aprodit dari STIKES Dian Husada. Sementara yang terbaru adalah pentas teaternya Komunitas Rabo Sore dari Universitas Negeri Surabaya yang kemarin (22/3) menyempatkan diri mampir dan bermain di GOR Majapahit dengan mengusung naskah “Munajat Apel Merah” garapan Endro Wahyudi yang mengadaptasi puisinya A. Muttaqin dengan judul yang sama.
Dalam festival tersebut, teater Samudera Ilahi dan Jingga mengusung dua naskah monolog karya Riris K. Toha Sarumpaet yang masing-masing berlambar “Rumah dan Tetesan” dan “Kabar dan Darah”. Naskah “Rumah dan Tetesan” dibawakan oleh Efi Tri Jayanti (siswi MAN Sooko, Mojokerto) yang disutradari oleh Ika. Sedangkan naskah “Kabar dan Darah” disuguhkan oleh Selly Putri Wahyuni (siswa SMAN I Puri, Mojokerto) yang disutradari oleh Khusnatul Mardiyah. Sementara pengarah sutradara ditangani oleh Bagus Mahayasa.
Naskah “Kabar dan Darah” yang dimonologkan oleh Selly Putri Wahyuni berkisah tentang seorang ibu yang hendak mengabarkan kondisi pribadinya serta kondisi zaman yang tak lagi “nyaman”, karena sebagian manusia yang hidup di dalamnya telah menjadi “hamba” teknologi. Kekeliruan dalam menyikapi kemajuan teknologi juga telah merenggut “kemesraan” ibu tersebut dengan anak tercintanya, di mana anaknya juga telah menjadi “tumbal” teknologi yang telah mengalami disfungsi.
“Rumah tangga. Apa itu rumah tangga?” Begitulah petikan dialog dalam naskah “Rumah dan Tetesan” yang dibawakan oleh Efi Tri Jayanti. Gadis berjilbab ini memerankan sosok ibu setengah baya yang mengeluhkan rumah tangganya yang berantakan dengan segala sebabnya. Pada intinya, sosok ibu sebagai tokoh utamanya sedang melakukan perenungan untuk mencari hakikat sebuah kehidupan rumah tangga. Di tengah panggung berlatar makam, ibu tersebut mengelilingi makam ibunya untuk “curhat” kepada ibunya tentang nasib rumah tangganya yang ”miskin” akan kebahagiaan. Ibu itu nyaris putus asa dalam menemukan rumusan bangunan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah, sebuah muara yang secara umum ingin dicapai oleh pelaku rumah tangga.
Seperti yang penulis katakan di awal, bahwa tampilnya dua komunitas teater pelajar dalam ajang Festival Monolog se-Jatim tersebut –paling tidak untuk saat ini– sekiranya dapat dijadikan satu bahan renungan bersama di tengah ”suwung”-nya aktivitas seni-budaya di Mojokerto saat ini. Dalam penampilannya, Teater Jingga dan Samudera Ilahi tidak mau tampil hanya sebagai “tempelan” saja. Keduanya membanting tulang (berproses kreatif) untuk dapat menyajikan dan membuktikan bahwa teater Mojokerto (dalam hal ini teater pelajar) kehadirannya tidak dapat diabaikan begitu saja dan memang laik untuk ditonton dan diapresiasi, baik saat pentas di dalam maupun di luar kandang.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa yang sesungguhnya menyebabkan Mojokerto mengalami “suwung budaya”? Sebagai makhluk berbudaya, sejauhmana upaya dan tanggungjawab kongkrit kita untuk menumbuh-kembangkan dan meregenerasikan aset budaya yang dimiliki Mojokerto? Tidak mudah menjawab pertanyaan di atas. Dibutuhkan keberanian untuk menjawabnya. Dan keberanian itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar sadar betul akan perannya sebagai bagian dari umat kebudayaan. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa ngopeni seni-budaya itu tidak semudah berkata-kata. Untuk itu, sekiranya ungkapan dari M. Iqbal berikut ini dapat dijadikan renungan, bahwa: jangan sampai kebudayaan bunuh diri dengan pedangnya sendiri.
*Jabbar Abdullah: Pegiat Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar